Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menunggu Selesai Berdandan

31 Oktober 2012   03:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:11 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar samar pintu diketuk saat aku masih sibuk membersihkan diri di kamar mandi. Ketukannya semakin lama semakin keras.  Dan samar pun berubah menjadi jelas.  Ya, aku tak salah lagi, pintu depan tengah ada yang mengetuk.

“Tunggu!” kataku yang langsung berlari menuju pintu dengan handuk yang masih tersampir sekenanya di pundak kiri.  Tanpa alas kaki.

Mungkin ada perihal yang genting hingga seseorang harus bertamu sepagi ini.  Begitu pikirku hingga buru-buru kubuka pintu.

Seseorang berdiri di hadapanku begitu aku membukanya, ia memasang senyum lebar.  Harusnya yang pertama kali kulakukan adalah memberinya pelukan.  Tapi tak aku lakukan.  Kedatangannya yang mengejutkan benar-benar membuatku membeku, membuat sendi-sendi tulangku ngilu.

Entah berapa detik berlalu namun kami masih saling berdiam.

“Kenapa tak beritahu dulu?” pada akhirnya justru itu yang keluar dari mulutku.  Sedang dia hanya menyeringai.

Begitu menyadari diri masih begitu berantakan, aku berlari sempoyongan masuk tanpa menunggunya memberi jawaban.  Tanpa menyuruhnya masuk untuk sekedar menungguku berganti pakaian.

Aku menutup pintu kamar dengan perasaan tak karuan, antara senang mendapat kejutan dan kesal karena dia memergokiku dengan tampilan yang masih sangat berantakan.

Aku duduk di depan meja rias, mengambil sedikit foundation dan meratakannya ke seluruh wajah.  Lalu melapisinya dengan face powder untuk menyamarkan pori-pori.  Perona pipi tipis kusapukan,eyelinerwarna cokelat tua menambah kesan tegas pada mata dan bibirku juga sudah bergincu merah muda.

Terakhir adalah menyisir rambut panjang bergelombangku dan kubiarkan tergerai.  Penjepit warna kuning keemasan menyingkap poni hingga rapi terkesan nyata.  Satu lagi, rok bunga-bunga sepanjang bawah lutut juga sudah kukenakan berpasangan dengan blus putih berkerah renda.

Aku berjingkat, mengintipnya dengan menyingkap tirai jendela dan ternyata dia duduk di kursi beranda.  Satu hal bodoh kembali baru kusadari.  Aku belum menyajikan minuman hangat untuknya.

Dengan malu-malu aku kembali menemuinya sambil membawa dua cangkir teh hangat.  “Kenapa lama sekali?” tanyanya tanpa memalingkan wajahnya padaku begitu aku meletakkan cangkir di meja.  Entah dia memang sedang benar-benar sibuk dengan gadgetnya ataukah hanya berpura-pura saja.

“Ehm,” aku sengaja berdehem untuk menarik perhatiannya.  Dia menoleh.  Diam.

Mungkin warna blush on yang tadi kusapukan tipis ke pipi kini terkesan tebal.  Ya, karena rona alami pipi tampak menyembul sempurna begitu aku tersipu tiba-tiba.  Dengan detakan jantung yang kembali tidak normal, aku menunggunya mengatakan sesuatu.

Ia mengernyitkan dahi, “Kenapa berdandan?”  Aku semakin terdiam karenanya.  Sungguh, ini adalah kekecewaan pertamaku di hari ini.

Aku menjadi merasa aneh.  Maksudku, apakah dandananku aneh hingga ia harus bertanya seperti itu?  Tak cukup cantikkah aku dihadapannya?  Atau memang bukan hal yang mudah baginya memberiku sedikit saja pujian?  Apa susahnya berkata, “Hei, kamu makin cantik.”

“Hmm…” gumamnya.  Mungkin ia akan memperbaiki pertanyaannya atau mungkin menambahkan kata-kata yang lain, tapi aku terlanjur malas untuk mendengarnya bicara lebih banyak.

“Kenapa berdandan?” dia justru mengulangi pertanyaan yang sama hingga membuatku semakin kesal dibuatnya.  Dengan masih menatapku, ia melanjutkan,”Kita kan tak mau kemana-mana,”  katanya.  Dengan suara yang lebih lembut.

Dan aku tak menjawab, tak bisa menjawab lebih tepatnya.  Kupikir ini hanya naluri, di mana seorang perempuan selalu ingin tampil cantik ketika menemui lelaki yang dikaguminya.  Yang dicintainya.  Tapi entahlah, toh aku juga seringkali berdandan ketika pergi, ketika tak hendak menemui siapa pun, hanya pergi.  Ataukah untuk lebih mempercaya diri?  Ah, sepertinya sebagai bentuk menghargai diri lebih tepat.

Aku tahu dari tatapannya bahwa dia masih menunggu jawaban.  Banyak kata-kata yang berdesakan di pikiranku, tapi aku tak menemukan kalimat singkat yang tepat.  Maka aku justru mengembalikan tanya padanya.

“Salahkah jika aku berdandan untukmu?”  Pupil matanya melebar lalu ia tersenyum dan tak berkata-kata, mungkin salah tingkah.  Melihatnya begitu, ingin rasanya aku bertanya pada Tuhan, kenapa Ia menciptakan lelaki ini begitu sulit melisankan perasaannya.

Ah, sudahlah, yang pasti setelah itu dia tak lagi bertanya hal yang sama, seberapa lama pun dia menungguku selesai berdandan.

SUMBER GAMBAR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun