Terdengar samar pintu diketuk saat aku masih sibuk membersihkan diri di kamar mandi. Ketukannya semakin lama semakin keras. Dan samar pun berubah menjadi jelas. Ya, aku tak salah lagi, pintu depan tengah ada yang mengetuk.
“Tunggu!” kataku yang langsung berlari menuju pintu dengan handuk yang masih tersampir sekenanya di pundak kiri. Tanpa alas kaki.
Mungkin ada perihal yang genting hingga seseorang harus bertamu sepagi ini. Begitu pikirku hingga buru-buru kubuka pintu.
Seseorang berdiri di hadapanku begitu aku membukanya, ia memasang senyum lebar. Harusnya yang pertama kali kulakukan adalah memberinya pelukan. Tapi tak aku lakukan. Kedatangannya yang mengejutkan benar-benar membuatku membeku, membuat sendi-sendi tulangku ngilu.
Entah berapa detik berlalu namun kami masih saling berdiam.
“Kenapa tak beritahu dulu?” pada akhirnya justru itu yang keluar dari mulutku. Sedang dia hanya menyeringai.
Begitu menyadari diri masih begitu berantakan, aku berlari sempoyongan masuk tanpa menunggunya memberi jawaban. Tanpa menyuruhnya masuk untuk sekedar menungguku berganti pakaian.
Aku menutup pintu kamar dengan perasaan tak karuan, antara senang mendapat kejutan dan kesal karena dia memergokiku dengan tampilan yang masih sangat berantakan.
Aku duduk di depan meja rias, mengambil sedikit foundation dan meratakannya ke seluruh wajah. Lalu melapisinya dengan face powder untuk menyamarkan pori-pori. Perona pipi tipis kusapukan,eyelinerwarna cokelat tua menambah kesan tegas pada mata dan bibirku juga sudah bergincu merah muda.
Terakhir adalah menyisir rambut panjang bergelombangku dan kubiarkan tergerai. Penjepit warna kuning keemasan menyingkap poni hingga rapi terkesan nyata. Satu lagi, rok bunga-bunga sepanjang bawah lutut juga sudah kukenakan berpasangan dengan blus putih berkerah renda.
Aku berjingkat, mengintipnya dengan menyingkap tirai jendela dan ternyata dia duduk di kursi beranda. Satu hal bodoh kembali baru kusadari. Aku belum menyajikan minuman hangat untuknya.