[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="http://i15.photobucket.com/albums/a371/emi_myst/blog2/IMG_4366.jpg"][/caption]
“Siyal!”umpat lelaki yang tengah berdiri di emperan tokoku. Suaranya yang keras dan tiba-tiba membuatku seketika menoleh ke arahnya. Ia memakai sweter warna grey bergaris hitam. Terlihat sedikit aneh. Bagaimana tidak, di siang bolong begini ia menggunakan pakaian seperti itu.
Belum lama setelah aku kembali memfokuskan perhatianku pada nominal-nominal angka di buku kas, terdengar lagi dia mengumpat.
“Siyal! Sudah jam berapa ini?” katanya sambil melihat jam di tangan kirinya. Kutebak ia tengah menunggu sesuatu. Karena penasaran, kuamati saja setiap gerakkannya. Dari berdiri, duduk di bangku, lalu berjalan dan berhenti di tepi jalan raya sambil menengok kanan dan kiri. Dari tampangnya, dia terlihat sangat kesal bercampur gelisah.
Dia kembali berjalan menuju emper tokoku, untuk berteduh kukira. Lagipula siapa yang betah berdiri di tepi aspal dengan cuaca sepanas ini. Dia berjalan sambil menendang-nendang kerikil dengan sepatu pantofelnya. Dan sepatu yang tadinya hitam mengilap itu pun kini tertutup debu-debu.
Sibuk memperhatikan sepatunya, aku tak menyadari jika ia ternyata sudah berdiri beberapa jangkah dari mejaku. Tatapan kami beradu, karena sudah kepalang basah maka aku tersenyum saja padanya.
Dan sialnya, dia tak membalas senyumku. Bahkan tatapan matanya membuatku khawatir, takut. Jangan-jangan dia akan melakukan hal yang tidak-tidak padaku. Mana toko sedang sepi begini.
“Ehmm, ada yang bisa aku bantu, Mas?” tanyaku mencoba untuk berbasa-basi. Tapi lelaki ini tak juga mau membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaanku. Aku mencoba untuk tidak berburuk sangka kali ini, mungkin laki-laki ini memang tengah sangat kesal hingga aku, satu-satunya orang yang berada tak jauh darinya menjadi terkena imbasnya.
Dia berjalan mendekat, semakin dekat semakin dekat. Jantungku berdebaran, sulit rasanya untuk tidak berprasangka buruk jika melihat tatapannya begitu.
Lekas aku mengunci laci uangku, lalu menyembunyikan kuncinya di dalam baju. Iya, di dalam baju! Tinggal dua langkah lagi lelaki itu sudah sampai ujung mejaku, tubuhku gemetaran rasanya. Aku sudah hampir berteriak sekencang-kencangnya saat langkahnya membelok ke sisi kiri meja.
Namun, aku mengurungkan teriakan itu. Dia membuka lemari es, yang memang berada di sebelah kiri mejaku. Ia mengambil sebotol minuman dingin dan segera meminumnya secepat yang ia bisa setelah tutup botol terbuka.
Fiuuuh…..
Aku membuang nafas lega, meskipun, ya, masih menyisakan sikap waspada, tentu saja. Tapi di luar dugaanku, lelaki bersepatu pantofel itu langsung berlari keluar setelah menghabiskan separuh botol isi minuman dingin itu.
“Siyal, dia tak membayar!” desisku.
Sedang dari luar, terdengar umpatan yang lebih keras dari umpatan-umpatan yang kudengar sedari tadi.
“Siyaaaal!!!” umpatnya, keras sekali.
Aku buru-buru mencari sumber suara, ingin tahu apa yang terjadi. Tapi aku segera memalingkan muka begitu dia kembali berlari menuju meja. Dia merogoh saku celana lalu memberikan selembar uang sepuluh ribuan yang kusutnya bukan main.
Saat dia akan membalikkan badan, aku sedikit berteriak, “Kembaliannya!” kataku.
Tanpa menoleh dan melangkah cepat-cepat, dia menjawab, “Ambil saja, aku harus mengejar angkotnya!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H