Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepasang Kekasih

14 Januari 2012   13:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326540164153697052

Jika boleh jujur, saat-saat seperti inilah yang aku suka. Berdua duduk denganmu, berpayung langit senja, saling bercerita, lalu tertawa bersama. Seperti sekarang, kamu tengah bercerita tentang burung hantu peliharaanmu. Cerita yang sama setiap harinya. Tapi aku tak pernah bosan. Aku suka mendengarkanmu meniru suara burung itu, kut.. kut.. kut.. Dan kamu bertingkah dengan lucu  meniru burung hantu mengantuk. Lalu kamu tertawa terbahak-bahak hingga matamu berair. Walau kadang aku tak mengerti bagian yang lucu itu, tapi toh itu selalu berhasil membuatku tertawa juga.

“Hei, dua telur Rui semalam menetas. Kali ini kamu harus melihatnya, dan kamu harus memberinya nama!”

Aku tersenyum, lalu mengangguk. Entah, ini sudah kali keberapa kamu mengajakku untuk melihat Rui, burung hantu peliharaanmu. Tapi belum sekali pun kita menepatinya. Aku juga tak yakin berani menatap mata Rui yang seperti celepuk itu. Aku lebih menyukai burung Perenjak yang bermain di ranting-ranting bambu. Lebih-lebih kicauannya sesaat sebelum senja. Karena itu pertanda bahwa kamu akan datang untuk berbagi cerita.

“Jadi, cerita apa yang ingin kamu bagi untukku senja ini?” katamu dengan wajah sumringah. Melihatmu begitu membuatku tertunduk. Malu sebenarnya. Tatapan jahilmu itu yang selalu membayangi malam-malamku, membuat ibuku kerap jengkel karena mendapatiku senyum-senyum sendiri.

“Pohon akasia,” kataku sambil tertunduk. Kulirik kamu yang manggut-manggut mencoba mengingat. “Kamu ingat cerita itu? Beberapa senja lalu?” tanyaku dengan memberanikan diri menatap matamu.

Kamu membalas tatapanku. “Tentu, tiga pohon akasia yang dipenuhi ulat bulu. Bagaimana mereka sekarang?” Ada  ketertarikan di sorot matamu.

--

Di sana, dalam sorot itu aku tergelincir ke dalam padang sabana. Rerumputan yang luas ditumbuhi tiga pohon akasia dengan warna bunga berbeda. Aku berlari mendekat, menerabas rerumputan setinggi dada. Tanpa alas kaki.

“Tiga pohon akasia itu kini tengah berbunga. Kuning, putih dan jingga. Dan ulat-ulat itu kini telah berubah menjadi kupu-kupu.”

Sekarang aku sudah berada di bawahnya. Mencari sebuah kata yang pernah kusimpan di salah satu rantingnya. Dalam hati aku berdoa, semoga ulat-ulat itu tak banyak lakukan khilaf, hingga kata milikku tak lagi bisa terbaca. Ah, aku bersyukur karena menemukannya. Dan rupanya masih nampak sempurna.

Aku melakukan hal yang sama pada dua pohon lainnya. Lalu memunguti ketiganya. Merenda bunga akasia dalam tepian bingkainya, lalu menggantungnya pada ranting terkokoh. Kupinta tiga kupu-kupu bersayap indah untuk menjaganya.

“Di sana, ada tiga kupu-kupu bersayap indah, masing-masing menjaga satu kata.”

“Tiga kupu-kupu menjaga tiga kata?”

“Hm..hm..”

“Katakan, apa tiga kata itu. Aku ingin tahu.”

“Kamu harus membacanya sendiri, mendatangi tiga pohon akasia itu lalu meminta ijin kepada kupu-kupu.”

“Kenapa tak kamu katakan saja padaku?”

Aku menggeleng.

“Katakan, dimana aku bisa menemukan tiga pohon akasia itu?”

Aku tersenyum, malu bercampur geli melihat air mukamu. Tapi kupikir sudah saatnya memberitahumu. Rasanya dadaku sudah tak bisa lagi dibangun ruang baru untuk menyimpan perasaan yang terukir dalam tiga kata itu. Perasaan yang terus mengakar, beranak pinak hingga membuat sesak ruang-ruang dalam dada yang sebelumnya kosong.

“Aku sering melihatnya saat senja,” aku terdiam, bening bola matamu membuat kumpulan kataku kocar-kacir. Dengan mengumpulkan segenap nyali aku melanjutkan,”kamu tahu dimana? Di dalam sorot matamu!”

“Hahaha kamu pasti bercanda, lalu bagaimana caraku melihatnya?” kamu menatapku.

“Mudah, cari saja dalam mataku. Bukankah dalam mataku akan terpantul sorot matamu saat kamu menatapnya?” Glek… seluruh ludahku terasa mengering. Darimana nyali itu muncul? Biasanya, kalimat-kalimat yang sudah kutata sedemikian rupa akan menghambur sedetik setelah mata kita beradu. “Coba saja, aku tunggu di bawah pohon akasia.” Tak kurasai lagi aliran darahku, semua terasa membeku. Entah, apakah pucat atau merona merah jambu pipiku, aku tak peduli. Kali ini kukerahkan semua nyaliku untuk membalas tatapanmu.

--

Aku tak tahu bagaimana caramu, dari kejauhan kulihat sosokmu menari lincah menujuku. Dengan sebuah sangkar burung berwarna ungu di tangan kananmu. Rumput-rumput liar setinggi dada tak sedikit pun melambatkan langkahmu. Sedang aku, tak mampu menghentikan senyumku.

Kamu berhenti tepat dihadapku. Matamu tajam menatapku. Dadaku berdeburan seperti ombak laut selatan. Mataku panas menahan buih rasa yang kauciptakan.

“Kubawa Rui menemuimu. Lihat, tatapan matanya tak secelepuk yang kamu kira. Dia lucu. Berikan nama untuk salah satu anaknya!”

Bibirku terasa kaku untuk berucap, tapi aku masih mampu meski sedikit gagap,”Ak… akas. Akas!” hanya itu yang mampu meloncat dari mulutku.

“Hmm… tidak begitu buruk, biar satunya aku yang beri nama.”

“…..”

“Kai!”

“Dinamai di bawah pohon Akasia yang bunganya berangkai-rangkai!”

Kamu melepaskan Rui, Akas, dan Kai di pohon akasia yang berbeda. Lalu kamu kembali berdiri di hadapanku. Kurasai kembali dadaku berdeburan. Darahku mendesir menghangat. Aku menunduk, tak mampu membalas tatapan matamu yang pekat.

Kamu mendekat, sangat dekat. Bahkan aku mampu merasakan hembusan nafasmu. Semakin cepat, semakin cepat. Hatiku menggigil, lututku lemas. Entah kekuatan dari mana yang membuatku masih mampu berdiri. Aku ingin menyudahinya, berlari menjauh. Tapi, inginku untuk menghentikan waktulah yang justru menang.

“Sebentar lagi, langit menanggalkan selendang jingganya. Itu pertanda bahwa aku harus pulang, kita harus pulang.”

Aku tak percaya kalimat itu yang kamu katakan. Rasaku berubah menjadi malu, bercampur marah. Aku merutukmu dalam hati.

“Kaulihat, matahari nyaris tergelincir. Langit jingga sudah nyaris berganti. Senja hari ini segera pergi.”

“Aku tak peduli. Aku tak peduli.” Rutukku tanpa suara, tanpa tanda.

“Tapi aku ingin ujung senja hari ini menjadi saksi. Pun pohon akasia beserta bunganya, Rui, Akas, dan Kai,” suaramu lembut. Seperti angin senja yang memainkan ujung ilalang. Lalu kurasai jemarimu membungkus jemariku. Hangat menjalar hingga dada, hingga ujung jemari kaki.

“Aku dan kamu, kini adalah sepasang kekasih.”

“Dan tiga kata itu..” kamu melirik tiga kata yang masih bergantung di pohon akasia. Tiga kata berbingkai bunga yang berayun-ayun seolah tengah bahagia. Karena dirinya, kini terbaca. “Itu adalah anak kunci hati kita.”

Aku Sayang Kamu

Rasa malu dan marah luruh, tercecer entah kemana. Berganti semesta rasa yang tak pernah kurasai sebelumnya. Senja ini, aku dan kamu menjadi sepasang kekasih, disaksikan semesta.

.

.

Gambar: http://naninukreasih.blogspot.com/2011/05/aku-dan-lelaki-senja.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun