Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Balik Ketegaranku, Aku Rapuh (4)

27 Juli 2010   02:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:34 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Apa yang kamu lakukan benar Dek, sudah jangan menangis!" ucapan kakakku justru semakin membuat tangisku menjadi.

Aku tak mampu memejamkan mata malam itu. Aku sendiri tidak menyangka dengan keputusan yang baru saja kuambil. Meski beberapa saudara dan tetangga banyak yang membenarkan, namun jauh dalam lubuk hatiku aku merasa takut, sedih dan entahlah, mungkin perasaan bersalah. Aku tak begitu mengerti dengan perasaanku saat ini. Hah,… benar-benar malam yang galau.

Keesokan paginya aku masih terpaku dangan diriku yang terlihat kuyu. Aku gamang apakah aku harus berangkat ke sekolah atau hanya menyesali diri dan terdiam dalam rumah. Aku sedikit ragu juga dengan pandangan menyelidik orang-orang di luar sana. Mereka akan menganggapku sebagai anak durhaka tanpa mereka tahu akar permasalahannya.

Ah ini hidupku, dan akulah satu-satunya orang yang akan membawanya mau kemana. Apakah terus terpuruk atau bangkit. Dan aku memutuskan untuk bangkit. Aku mencoba untuk menjalani hari seperti biasa. Belajar ke sekolah walau beribu pasang mata memandang angkuh. Aku tetap tersenyum pada siapa saja yang menyapa.

Kudengar Ibuku sekarang tinggal di kota bersama saudara perempuannya. Setiap pulang ke desa, tepatnya ke rumah nenek dia selalu bercerita bahwa di sana dia hidup enak. Tak lagi bekerja di sawah dan kepanasan. Setiap malam minggu sering kali keluar jalan-jalan di alun-alun kota. Dan bebas berpacaran dengan kekasihnya. Aku senang sekaligus pedih mengetahuinya. Tak kusangka, seorang ibu yang dulu kupuja sekarang sungguh durhaka.

Novi, sahabatku itu kini menjadi musuhku. Meski aku tahu dan sadar bahwa dia adalah korban nafsu selangkang dari orang yang kami hormati dan cintai. Sama sepertiku juga. Tatapan perang selalu tersorot dari matanya. Dia menganggap bahwa aku telah merebut Ayahnya. Bukan aku namun Ibuku tepatnya. Tak pernah kutemui sorot mata persahabatan lagi diantara kami. Jikalau dia tahu bahwa aku pun tak menginginkan ini.

Aku sebenarnya sangat kasian melihat keluarga mantan sahabatku itu. Ketiga adiknya masih balita, dan dia sendiri harus puas hanya dengan lulusan SMP, karena uang untuk biaya memasuki jenjang SMA tak pernah dia ketahui kemana habisnya. Mungkin untuk biaya pulang pergi ke kota oleh ayahnya. Yah untuk apalagi selain menemui Ibuku.

Ibu Novi sering sakit-sakitan semenjak peristiwa laknat itu terjadi. Bahkan pernah suatu senja Ibunya nekad memasukkan tubuhnya ke dalam sumur. Semua tetangga geger. Ayahnya sudah janji untuk tak pernah lagi mengkhianati keluarganya, namun janji tinggallah janji. Ayahnya dan Ibuku masih terus saja melakukan hubungan gelap itu meski secara sembunyi-sembunyi.

Selama bertahun-tahun aku merasa menjadi yatim piatu dengan seonggok tubuh ibuku yang masih bisa tertawa lepas di balik kemuraman nasibku. Cap anak durhaka masih juga menempel di keningku. Andai mereka tahu, dibalik kebencian atas kelakuan Ibuku, aku sungguh merindukannya. Aku rindu sekali hangat peluknya. Aku rindu makan disuapi olehnya. Aku rindu dengan omelannya setiap pagi. Aku rindu punya Ibu.

"Ibu, kami memaafkanmu! Pulanglah dan berjanjilah untuk tidak lagi melakukan itu! Kami semua merindukan Ibu, pulanglah Bu!" kataku saat kami kebetulan bertemu di rumah nenek.
"Maaf aku belum bisa pulang sekarang!" jawabnya, dengan suara tengah diseret.
"Kenapa?" sorot mataku tak lagi lembut.
"Karena Ibu lebih memberatkan pacar tambun ibu itu? Hah?! Lebih penting dia dari pada kami anak-anakmu?" aku tak mampu menahan emosiku.
"Cukup!! Jangan kau bawa dia dalam urusan kita!" dia pun ikut bernada tinggi.
"Tidak dibawa bagaimana?! Jelas-jelas dialah akar permasalahan ini!"
"Sudahlah cukup!! Aku tak mau membicarakannya lagi! Sekarang pulanglah!"

Perbincagan yang lebih tepat dikatakan pertengkaran sore itu selalu saja bergelanyut di ingatanku. Aku tak pernah menyangka akan semua itu. Saat kakakku menikah, Ibu tak mendampinginya. Kini giliranku yang akan menikah, namun Ibuku juga belum mau kembali.

"Ah sudahlah, menyesali segala peristiwa yang terjadi belum tentu mampu mengembalikan Ibuku seperti dulu, lebih baik aku segera mandi karena malam ini calon suamiku akan datang. Yah membicarakan pernikahan kami yang tinggal seminggu lagi!"

~berlanjut ke sini~

Catatan:


  • Coretan ini ditulis sebagai cerbung untuk kado pernikahan salah seorang sahabat,
  • Benang merah cerita diambil dari sebagian lembar kisahnya.
  • Maaf ya!!! Lanjutannya lama, satu lagi finish kok :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun