Sampai suatu ketika, Ibuku pingsan di sawah. Orang-orang ada yang mencibirnya,"Diakan tidak terbiasa di sawah, jelas saja tidak kuat!" Tapi itu tak sedikit pun mengecilkan hati kami yang memang sudah kecil. Kami terus berjalan menelusri hidup yang telah digariskan oleh Yang Maha Berhak.
Di sisi lain sahabat-sahabatku tak pernah berubah, mereka justru sering main ke rumahku. Rujakan, nonton TV, atau sekedar ngrumpi. Kehangatan para sahabat semakin menguatkanku. Solidaritas kami justru semakin kental, rasa persahabatan kami pun membulat. Bahkan saking dekatnya, kami saling menganggap ibu salah satu dari kami adalah ibu kami semua. Keluargaku adalah keluarga mereka, keluarga mereka adalah keluargaku. Aku bahagia memiliki mereka.
Namun kebahagiaanku tak berlangsung lama dan bergantikan nestapa yang tak kunjung usai. Dan itu semua disebabkan oleh Ibuku, dia menghancurkan semua yang kupunya. Harapanku, keluargaku, masa depanku, cita-citaku dan menghancurkan persahabatanku dengan mereka. Ibuku menjadi pengkhianat. Aku tak sudi punya Ibu seperti dia!!
Catatan:
- Coretan ini ditulis sebagai cerbung untuk kado pernikahannya salah seorang sahabat,
- Benang merah cerita diambil dari sebagian lembar kisahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H