Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Latifa "Calon Suami Bunda"

14 Maret 2010   08:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:26 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Tidaaaaaaaakk…………………"
"Dengarkan dulu!!"
"Diam…..!!!! Aku tak ingin mendengarnya, cukup! Belum puaskah kalian menyakitiku, menyiksa setiap sudut batinku? Belum puaskah"
"Ini demi kebaikan kita, Nak!"
"Kebaikan?? Yah, kebaikan kalian bukan untuk kebaikanku!"
"Bukan, ini untuk kebaikan kita bersama!"
"Kalian semua jahat, untuk apa bunda melahirkanku jika hanya sepert ini yang aku dapatkan! Untuk apa?? jika boleh memilih, aku tak akan pernah mau dilahirkan di dunia ini, apalagi dari rahimmu!!" sambil menahan sakit di punggungku yang tak terasa jika dibandingkan sakitnya hatiku.

Pertengkaranku dengan Bunda, bermula dari penolakanku atas kemauannya yang konyol. Bagaimana mungkin dengan jelas dan gamblang dia memintaku untuk menyetujui pernikahannya dengan pria lain, sedangkan dia belum bercerai dari ayahku.
Oh Tuhan, kirimkan saja padaku Malaikat maut-Mu, untuk menjemputku. Kutak tahan lagi. Cukup! Cukup kurasakan pahit semua ini. Tak sedetik pun  aku mampu untuk tersenyum, tak sedikit pun. Aku muak Tuhan, aku muak melihat keluargaku yang tak lagi terlihat seperti keluarga. Yah, seperti di dalam penjara yang isinya adalah orang-orang pembunuh yang kejam.

Sepulang Bunda dari Malaysia, dia memboyong pria asing yang sama sekali belum kukenal. Dihadapanku dan ayah, pria itu memperkenalkan diri sebagai calonnya.
Tidaaakkk!!!! Tuhan, kurasa Kau telah sambarkan petir tepat di ubun-ubunku. Gemuruh yang tiada henti dan suara halilintar terasa terus menggema dalam dadaku. Hanya kegelapan yang aku rasakan, gelap dan tersayat. Seketika, ayahku berdiri dan mendaratkan pukulan tepat di rahang pria itu. Dan tamparan yang terdengar sangat keras di pipi bundaku. Oh tidak, aku tak pernah membayangkan hal seperti ini sebelumnya.
Kau tahu, pria itu tak mengalah begitu saja. Dia bangkit dan membalas pukulan itu dengan sama kerasnya. Dan mereka bergulat di pelataran seperti tontonan wayang orang yang sedang beradu kesaktian. Tak seorang pun yang berinisiatif melerainya.

"Dia itu masih istriku!!!" braak……….
"Tapi kau tak pernah membahagiakannya!! Kau hanya menyia-nyiakannya" bantah pria itu
"Aku tak pernah menyiakannya, tapi dia yang tak pernah mematuhi keinginanku!" Hah……
"Untuk apa mematuhi suami yang tak mempedulikan anak istri, tapi hanya bermain judi?" Prang….
"Diam, Kau!!!"
"Aku akan menikahi istrimu!! Kau tahu, dia akan bahagia jika bersamaku"
"Tak akan kubiarkan, karena aku tak akan menceraikannya!!"

Aku terduduk kaku di lutut bundaku, merintih dan menangis tanpa setetes pun air mata yang mampu kutumpahkan. Aku mencoba berdiri, berlari menuju arena perkelahian mereka. Dan…… daap, pukulan salah seorang dewasa itu mendarat tepat di punggungku. Aku terjerambab dan entahlah… gelap.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~o00o~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pikirku buntu, tak ada yang bisa kuajak bicara selain buku usangku ini. Jika aku punya sahabat, jika aku punya orang yang bisa berpendapat, jika dan jika……
Dan semua tak terselesaikan hanya dengan jika.

Semenjak kepergian bundaku ke Malaysia, aku tak berani berkawan. Bukan tak berani, namun aku takut dengan kecemburuan. Cemburu yang bisa membakar setiap nadiku jika ku melihat salah seorang temanku mendapat kecupan mesra dari ibunya, cemburu jika ibunya menyuruhnya segera makan ataupun menyuruh untuk bergegas mandi. Aku cemburu, aku iri dan aku menginginkan hal itu.

Aku lebih suka berkutat dengan buku dan mainanku, bermalas di depan TV, atau sekadar berbicara sendiri dengan bunga-bunga kamboja yang ditanam ayah di samping rumah. Aku bertanya pada mereka apakah bahagia pagi ini, dan embusan angin yang menerpanya seakan-akan merupakan jawaban darinya jika mereka sangat bahagia pagi ini.
"Boleh, aku merasakan sedikit bahagimu?"pintaku
Namun, tak ada jawaban, mereka tak ingin membagi kebahagiaan mereka padaku, barang sedikit saja.

Banyak orang yang berkata jika Tuhan itu adil, tapi aku tak merasakannya!

Diary, hanya kamu satu-satunya temanku. Hanya satu-satunya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun