Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Al Qur'an ku Berdebu (Ngaji Yoookk!!!)

6 Desember 2009   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:03 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Maafkan aku atas keteledoranku, ampuni aku atas kebodohanku, terima tobatku atas segala dosaku".

Entah apa yang aku kalutkan sore itu, entah siapa yang ku rindukan dalam suatu senja itu, entah kapan aku temukan diriNya dalam sebuah gerimis.

Sesudah ibadah sholat ashar, aku melirik buku tebal di atas lemari kecilku. Ada sesuatu aura yang terpancar dari buku tebal itu. Tak pelak aku memandanginya, ku berdiri untuk meraihnya. Kurasakan ketakutan yang luar biasa saat kuraba banyak sekali debu yang menyelimutinya. Aku merasa manusia paling bodoh dan terkutuk di dunia, bagaimana mungkin aku membiarkan buku tebal itu terselimuti debu-debu yang begitu riang! Entah berapa hari aku tak menyentuhnya, mencium aroma surga di dalamnya. Padahal entah berapa kegundahan yang sirna saat melantunkan ayat-ayat di dalamnya.

[caption id="attachment_34113" align="aligncenter" width="204" caption="Gambar di comot dari google"][/caption]

Sejak masih balita aku sudah belajar ngaji di surau tempat Abah Ali Muhktar, saat semua sudah membawa peralatan tulis, aku tak membawa apa-apa (maklum belum bisa menulis), saat semua diajari a, ba, ta aku juga cuma melihat dan mendengarnya. Saat semua bernyanyi dan bershalawatan sesekali aku mengikutinya, tepatnya suku kata terakhirnya saja. Tak jarang para kakak-kakakku sering menggodaku dan mencubiti pipiku karena aku anak paling muda di surau itu. Dan Abah Ali pun juga sering menggodaku, apa lagi saat pemeriksaan kuku (dilakukan seminggu sekali saat hari minggu) salalu saja tanganku yang kena jitak (kalo gak gitu dipukul dengan sebatang bilah bambu yang biasa buat baca a, ba, ta di papan tulis).

Dan pengalamanku yang masih begitu bening dan teringat jelas adalah saat shalat magrib jamaah. Semua orang memakai mukena panjang atas bawah ada juga yang mukena terusan. Tapi aku hanya memakai mukena atasannya saja, mukena itupun adalah selembar kain mori yg dijahit dengan tangan ibuku sendiri, sekali lagi dengan jahitan tangan ibuku sendiri bukan dijahit dengan mesin jahit. Aku melihat semua orang disekelilingku saat ibadah sholat itu dimulai, bibir mereka komat-kamit. aku tak mengerti apa yang mereka baca, yang aku lihat adalah bibir mereka komat-kamit kaya mbah dukun Surat baca mantra. Makanya akupun memulainya dengan Bismillahirrohmanirrohim...(itupun juga masih sangat belepotan) selanjutnya bibirku ikut berkomat-kamit membaca "()!@#$57!@3z#$%^())^%$" dengan sedikit suara berdesis, persis seperti yang aku lihat dan aku dengar. Seusai salam seorang yang berada di sampingku bertanya "Sing mbok woco mau opo nduk? " aku jawab aja apa adanya, tapi aneh mengapa beliau malah tertawa ya? terus jamaah yang lain ikut nimbrung dan mereka semua ikut tertawa. Aku tak mengerti, akhirnya saat sampai dirumah aku bercerita sama ayah dan Ibuku. Tapi mereka juga justru tertawa. Bingung!!

Akhirnya aku lebih rajin ngaji di Surau Abah Ali, alhamdulillah saat memasuki sekolah TK Dharma Wanita aku sudah bisa hafal bacaan sholat (malu juga pas inget kejadian itu), dan hafal huruf hijaiyah. Meskipun pengucapannya masih banyak kesalahan (bahkan sampai sekarang). Saat kelas 4 SD, aku baru memasuki belajar ngaji Al Quran juz amma. Dan aku meminta kepada ibuku untuk membelikan Al Qur'an. Tapi lagi-lagi permintaanku ditawar, bukan ditawar, tepatnya ditunda pengabulannya (douuh bahasanya blibet). Akhirnya lebih dari 2 minggu kemudian Ibu membelikanku kitab itu, aku masih ingat saat itu belinya di Toko Tiara harganya Rp. 12.000,- warna sampulnya biru ( sampai saat ini Al Qur'an itu masih ada dan selalu aku bawa kemanapun aku berada, meskipun sekarang sudah sangat usang dan tak bersampul lagi). Girang bukan main daku dibelikan buku tebal itu. Meskipun belum lancar betul, setiap sore aku jinjing kesana kemari (bawa ke surau bawa pulang lagi ke rumah).

Tak beberapa lama kemudian suasana berubah, tak ada lagi yang mengaji di surau Abah Ali, anak-anak banyak yang keluar dan pindah ngaji di tempat Pak Kyai Imam Nawawi, hanya tinggal aku dan temanku Pita saja yang mengaji di tempat itu. Akhirnya akupun juga ikut ngaji di tempat Pak Imam tapi aku juga tidak meninggalkan Abah Ali. Sepulang sekolah aku ngaji di tempat Pak Imam Nawawi (kebetulan ngajinya abis dhuhur) terus habis Ashar aku ngaji di Abah Ali. Sampai pegel tapi hasilnya malah tidak maksimal. Ya sudah akhirnya aku ngaji di tempat Abah Mu'id aja, nah lho!! Iya karena abah Ali meninggal akibat penyakit kncing manis.

Di tempat Abah Mu'id dan Ibu Iddah (Bu. Dah) aku di gembleng habis-habisan, apalagi mengenai makhroj bacaan Al Qur'an dan tajwidnya serta satu lagi yaitu membaca dengan tartil. Semakin di gembelng semakin merasa bodoh dan semakin ingin bisa. Dan pada 1 SMA aku mulai diminta untuk membatu mendampingi adek-adek untuk belajar ngaji. Dari bernyanyi, shalawatan, praktek sholat sampai ngaji Al Qur'an.

~Sepenggal kisah masa lalu~

Sampai saat ini aku masih merasa bodoh dan masih ingin belajar, pernah suatu ketika aku meminta Abi eLHa untuk menyimakku melantunkan ayat-ayat suci itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun