Mohon tunggu...
Sri Wahyuni Saraswati
Sri Wahyuni Saraswati Mohon Tunggu... Dosen - Freelance Writer

Menulis itu Mengobati. Membaca itu menghidupkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

STKIP PGRI Ponorogo Buktikan Rasa Cintanya pada Negeri

3 Oktober 2019   00:43 Diperbarui: 3 Oktober 2019   01:21 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SLG yang diselenggarakan setiap bulan ini benar-benar menginspirasi serta mampu membuka mata hati generasi tentang pentingnya literasi.

"Sangat menarik. Menginspirasi. Saya jadi mengerti dan termotivasi untuk menulis," ungkap Farah, mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo angkatan 2019.

Ponorogo-- Ketika negeri sedang dilanda berbagai fenomena yang menyayat hati, STKIP PGRI Ponorogo membuktikan kecintaanya pada ibu pertiwi. Bukti itu diwujudkan dengan kembali diselenggarakannya program Sekolah Literasi Gratis (SLG) 2.

"Saat negeri dilanda beragam fenomena ngeri obatnya hanya satu, literasi. Tidak ada cahaya yang lebih terang kecuali cahaya literasi. Tidak ada gunung tinggi yang patut didaki kecuali gunung literasi. Dan tidak ada langit yang pantas dikejar kecuali langit literasi," ujar Sutejo selaku ketua STKIP PGRI Ponorogo saat memberi sambutan di pembukaan SLG, Minggu (29/9) lalu.

Bulan ini SLG menghadirkan dua orang hebat yang bergulat dan berprestasi di bidang kepenulisan. Dua orang hebat yang dimaksud adalah Arafat Nur, novelis dari Aceh dan Yuditeha, pendiri komunitas Kamar Kata, Karanganyar.

"Soal pengalaman tidak perlu diragukan lagi. Mereka adalah orang-orang pilihan," ungkap Sapta Arif, ketua pelaksana SLG 2 STKIP PGRI Ponorogo.

Acara yang dimulai pukul 08.00 WIB itu dibuka dengan musikalisasi puisi Membaca Tanda-Tanda karya Taufik Ismail. Di sesi pertama, Arafat Nur tampil untuk menyapa peserta lebih dulu. Dengan gaya bicaranya yang khas, ia berbagi pengalaman tentang proses kreatifnya di hadapan 160 peserta. Dibuka dengan bagaimana awal mula suka  menulis, pengalaman masa kecil, tujuannya menulis, perjalanan dalam dunia menulis, hingga tantangan dalam menulis.

"Sejak SMP saya sudah mengikuti perkembangan berita. Meskipun pada saat itu hidup dalam ketidaknyamanan tetapi saya selalu meluangkan waktu untuk membaca koran," tutur lelaki penulis novel Seumpama Matahari itu.

Lelaki kelahiran Lubuk Pakam, Aceh itu menyinggung tentang pentingnya menulis dalam hidup. Menulis adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri, Tuhan, dan manusia, juga untuk mencerdaskan bangsa. "Menulislah dan jangan berhenti. Dengan menulis berarti kita telah melawan ketidakadilan dan kezaliman," pungkasnya.

Sementara itu, sesi kedua ada Yuditeha. Lelaki kelahiran Sragen yang telah memenangkan beragam lomba kepenulisan. Dengan suaranya yang khas ia mampu merampok hati para peserta melalui cerita pendek yang ia bawakan secara spontan.

"Untuk jadi penulis yang mampu merogoh hati pembaca kuncinya hanya satu, berpikirlah yang berbeda dari kebanyakan orang. Ciptakan ide-ide gila yang tak pernah diduga pembaca," tuturnya di hadapan peserta yang terpukau oleh ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun