Akhir-akhir ini, kita dihebohkan dengan fenomena om telolet om. Bukan hanya di Indonesia, tetapi hampir merambah ke seluruh dunia. Bahkan, fenomena ini sempat menjadi trending topic di media sosial.
Kata “om” yang berarti paman, dan “telolet” merupakan bunyi klakson bus antarkota atau antarprovinsi di pulau Jawa. Kataom telolet om sejatinya adalah teriakan yang biasa diucapkan anak-anak di pinggir jalan ketika bus sedang melaju. Tidak hanya dengan teriakan dari mulut mereka, pemburu suara klakson telolet juga membawa papan yang berisi tulisan om telolet om. Seketika, sopir bus akan membunyikan klakson telolet yang unik, kemudian mereka akan merekamnya dengan handphone.
Anak-anak bersaing untuk mengoleksi suara klakson telolet, baik jumlah maupun jenisnya. Semakin banyak dan semakin unik nada telolet, semakin dianggap berharga atau bernilai.
Di pulau Jawa, anak-anak sudah menerapkan aktivitas unik ini sejak dulu. Biasanya mereka melakukan hal ini ketika sore hari dan hanya sekedar untuk hiburan. Pada saat bulan puasa anak-anak menjadikan kegiatan ini untuk mengisi waktu senggang di sela-sela menunggu adzan magrib.
Fenomena om telolet berkembang dengan sangat cepat. Semua media sosial membicarakannya. Media sosial dengan mudah memublikasikan perilaku yang biasanya dilakukan oleh anak-anak pedesaan ke meja para penguasa dan pesohor dunia. Dan hasilnya luar biasa, banyak orang yang terhipnotis olehnya.
Om Literasi Om dan Literasi
Fenomena ini, berbanding terbalik dengan fenomena literasi. Jika fenomena om telolet om berkembang pesat maka literasi sebaliknya. Banyak orang mendengar kata literasi tetapi tidak tahu maknanya. Kalaupun ada, tidak jarang dari mereka yang memaknai literasi sebagai dunia baca tulis.
Sejatinya, literasi bukan lagi bermakna membaca dan menulis tetapi lebih mengarah pada proses keberaksaraan, kebermaknaan, dan keberwacanaan dalam arti luas. Tidak saja berkaitan dengan membaca dan menulis tetapi juga proses komunikasi secara intensif dalam interaksi sosial dan keilmuan.
Ada juga yang mengatakan bahwa literasi adalah melek huruf. Menurut saya itu pernyataan salah. Karena literasi bukan sekedar bebas dari buta huruf, tetapi kemampuan berpikir kritis dan kreatif yang ditopang dengan membaca dan menulis.
Selain itu, budaya literasi merupakan kunci perubahan generasi. Literasi tidak saja berkaitan dengan baca-tulis, tetapi lebih dalam mencakup literasi media, literasi perpustakaan, literasi teknologi, dan literasi visual. Jangan sampai generasi ini tersesat oleh limbah informasi yang membanjiri media massa kita.
Jika saja fenomena literasi se-booming fenomena om telolet om, maka literasi akan menjadi trending topic di semua kalangan dan semua media. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dan dari kota sampai pelosok desa. Betapa damainya hidup ini jika semua orang memiliki jiwa literasi.
Jika mereka mengenal dunia literasi sejak kecil, maka dapat dipastikan mereka akan menjadi generasi Indonesia sejati. Tidak hanya anak-anak tapi semua masyarakat Indonesia. Ini adalah mimpi indah kita, di mana semua orang akan berteriak Om literasi om, kapan pun dan di mana pun mereka berada.
Generasi sejati ialah generasi yang paham dan memiliki jiwa literasi, yakni mereka yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. oleh karena itu, jika ingin memajukan Indonesia kita harus lebih dulu memajukan budaya literasi. Ingat, literasi itu kunci perubahan generasi.
Penulis adalah mahasiswi dan anggota Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP PGRI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H