Mohon tunggu...
Favian Hanif
Favian Hanif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPNVY

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penolakan Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20: Cermin Konsistensi dan Arah Politik Luar Negeri Indonesia

1 Desember 2023   14:28 Diperbarui: 1 Desember 2023   15:00 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik Luar Neger Indonesia

            Penolakan keras yang dilayangkan beberapa figur politik ternama di Indonesia kepada timnas Israel pada laga Piala Dunia U-20 yang diselenggarakan FIFA dengan Indonesia sebagai tuan rumah menuai pro dan kontra. Sebab, kasus tersebut ternyata berbuntut panjang  dengan dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Kasus ini seakan mempertegas posisi dan arah haluan politik luar negeri Indonesia yang dengan tegas tidak mengakui kedaulatan Israel dan dapat dilihat sebagai postur Indonesia membela Palestina.

            Gubernur Bali, I Wayan Koster, dengan tegas menyuarakan penolakan terhadap keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 yang dijadwalkan dimulai pada 20 Mei mendatang di Indonesia. Dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga, Zaenudin Amali, pada Selasa (14/03), Koster menyatakan penolakan terhadap Bali sebagai lokasi pertandingan timnas Israel.

Dalam penjelasannya, Koster mengungkapkan bahwa Bali, bersama dengan lima provinsi lainnya, telah ditunjuk sebagai tempat pelaksanaan turnamen tersebut. Namun, Gubernur Bali menegaskan alasan penolakan tersebut berdasarkan ketidaksesuaian kebijakan politik Israel terhadap Palestina dengan prinsip kebijakan politik Indonesia. Prinsip tersebut ditekankan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mendorong penghapusan segala bentuk penjajahan.

Penolakan ini mencerminkan sikap tegas pemerintah daerah Bali terhadap isu politik yang sensitif dan menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip yang dipegang oleh Indonesia. Ormas Islam sebelumnya juga telah menyuarakan penolakan terhadap keikutsertaan Israel dalam turnamen tersebut, dan sikap ini mencerminkan berbagai pandangan yang ada dalam masyarakat terkait isu internasional yang melibatkan Israel dan Palestina.

Penolakan Timnas Israel oleh Indonesia bukanlah hal baru dalam sejarah. Sejak awalnya, Presiden Sukarno menentang pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1958 antara Timnas Indonesia dan Israel. Meskipun seharusnya bertemu di babak playoff, Indonesia memilih untuk mundur sebagai bentuk protes. Sikap ini terus berlanjut pada Asian Games 1962, di mana Indonesia sebagai tuan rumah juga menolak kehadiran Timnas Israel, yang akhirnya berujung pada sanksi dari Komite Olimpiade Internasional karena tidak memberikan visa kepada kontingen Israel.

Penolakan ini bukan hanya mencerminkan kecaman terhadap tindakan Israel yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional, tetapi juga merupakan pesan politik bahwa Indonesia konsisten dengan prinsip-prinsipnya dalam menangani isu internasional. Dengan menolak Timnas Israel, Indonesia juga menyampaikan solidaritas terhadap umat Islam, mengingat Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Tindakan ini dianggap sebagai dukungan terhadap saudara-saudara muslim yang menjadi korban konflik di Palestina, serta sebagai protes terhadap kebijakan Israel yang merugikan umat Islam.

Di sisi lain, penolakan ini sejalan dengan Amanat UUD 45 mengenai perdamaian dunia, yang menegaskan prinsip-prinsip perdamaian, keadilan, dan kebebasan yang dijunjung tinggi oleh Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Sebagai negara yang pro-aktif dalam menyuarakan perdamaian dunia, Indonesia secara konsisten berjuang untuk prinsip-prinsip tersebut di dunia internasional.

Penolakan elit politik terhadap kehadiran tim Israel dalam Piala Dunia U-20, sebagaimana yang dinyatakan oleh sejarawan IAIN Palangka Raya, Muhammad Iqbal, dapat diperbandingkan dengan sikap Presiden Sukarno pada Asian Games IV tahun 1962. Menurut Iqbal, penolakan Sukarno terhadap Israel dalam Asian Games IV merupakan bagian dari politik mercusuar yang bertujuan meningkatkan martabat Indonesia yang pernah dijajah oleh Barat.

Iqbal menjelaskan bahwa Sikap Sukarno ini juga merupakan bentuk perlawanan untuk memperkuat dukungan dari negara-negara pasca kolonialisme, sekaligus mendukung pembebasan Irian Barat. Namun, ia menegaskan bahwa ada kelebihan dalam pandangan ini, dan menilai bahwa sikap ini terlalu berlebihan dan naif.

Sejarawan tersebut juga mencatat bahwa pasca kejatuhan Sukarno, hubungan ekonomi dan sektor lainnya antara Indonesia dan Israel berkembang di bawah pemerintahan Orde Baru, Suharto. Iqbal mengungkapkan bahwa pasca kemerdekaan, Sukarno mendekatkan diri pada negara-negara Arab, yang menyebabkan Indonesia berada dalam posisi anti-Israel. Ini tercermin dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, di mana Israel mengirimkan telegram pengakuan penuh kepada Indonesia, namun disambut dingin.

Iqbal juga menyoroti keaktifan Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, yang menghasilkan Gerakan Non-Blok (GNB) dan menegaskan penolakan terhadap Israel. Iqbal menjelaskan bahwa sikap Sukarno tidak hanya didasarkan pada idealisme agama dan penjajahan, tetapi juga untuk mengkonsolidasikan Indonesia di mata dunia, termasuk pembebasan Irian Barat.

Teuku Rezasyah, menekankan bahwa Piala Dunia U-20 seharusnya menjadi panggung pesan damai dan persaudaraan dunia, yang tidak dapat dicapai oleh Israel. Meskipun demikian, FIFA akhirnya mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah turnamen tersebut, tanpa menjawab secara tegas apakah keputusan itu terkait dengan penolakan terhadap tim Israel.

Alasan-alasan yang disampaikan memang memiliki dasar yang masuk akal dan dapat diterima. Namun, di sisi lain, ada pandangan yang mengkritik penolakan tersebut karena dianggap mengesampingkan prinsip-prinsip olahraga yang menekankan pada kebebasan dan persamaan. Beberapa berpendapat bahwa tindakan penolakan melanggar hak-hak Timnas Israel sebagai peserta resmi ajang olahraga internasional.

Meskipun sepakbola sebagai cabang olahraga memiliki struktur organisasi yang teratur, seperti aturan-aturan yang ditetapkan oleh FIFA, pemerintah juga diharapkan untuk mematuhi aturan yang berlaku. Pertanyaan muncul mengapa penolakan baru terjadi setelah kita menawarkan diri sebagai tuan rumah, dan hal ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi komitmen awal.

Namun demikian, isu terkait Israel selalu menjadi perdebatan di masyarakat, dan pro dan kontra terus berkembang. Dunia ini memang penuh dengan ketidakpastian dan konflik, menciptakan kondisi anarki dalam pandangan realis. Penolakan terhadap Timnas Israel dalam ajang olahraga internasional dianggap sebagai bagian dari perang politik yang lebih besar, melebihi sekadar protes olahraga yang sah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun