Iqbal juga menyoroti keaktifan Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, yang menghasilkan Gerakan Non-Blok (GNB) dan menegaskan penolakan terhadap Israel. Iqbal menjelaskan bahwa sikap Sukarno tidak hanya didasarkan pada idealisme agama dan penjajahan, tetapi juga untuk mengkonsolidasikan Indonesia di mata dunia, termasuk pembebasan Irian Barat.
Teuku Rezasyah, menekankan bahwa Piala Dunia U-20 seharusnya menjadi panggung pesan damai dan persaudaraan dunia, yang tidak dapat dicapai oleh Israel. Meskipun demikian, FIFA akhirnya mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah turnamen tersebut, tanpa menjawab secara tegas apakah keputusan itu terkait dengan penolakan terhadap tim Israel.
Alasan-alasan yang disampaikan memang memiliki dasar yang masuk akal dan dapat diterima. Namun, di sisi lain, ada pandangan yang mengkritik penolakan tersebut karena dianggap mengesampingkan prinsip-prinsip olahraga yang menekankan pada kebebasan dan persamaan. Beberapa berpendapat bahwa tindakan penolakan melanggar hak-hak Timnas Israel sebagai peserta resmi ajang olahraga internasional.
Meskipun sepakbola sebagai cabang olahraga memiliki struktur organisasi yang teratur, seperti aturan-aturan yang ditetapkan oleh FIFA, pemerintah juga diharapkan untuk mematuhi aturan yang berlaku. Pertanyaan muncul mengapa penolakan baru terjadi setelah kita menawarkan diri sebagai tuan rumah, dan hal ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi komitmen awal.
Namun demikian, isu terkait Israel selalu menjadi perdebatan di masyarakat, dan pro dan kontra terus berkembang. Dunia ini memang penuh dengan ketidakpastian dan konflik, menciptakan kondisi anarki dalam pandangan realis. Penolakan terhadap Timnas Israel dalam ajang olahraga internasional dianggap sebagai bagian dari perang politik yang lebih besar, melebihi sekadar protes olahraga yang sah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H