Mohon tunggu...
FAUZY RAMADHAN
FAUZY RAMADHAN Mohon Tunggu... -

Penggagas dan penggerak Komunitas Mengedit Kota Jogja. Mahasiswa DKV Institut Seni Indonesia Yogyakarta angkatan 2013. Anggota Komunitas Pohon Antikorupsi Pelajar. Anggota Persahabatan Wartawan Cilik Yogyakarta. Salah satu penulis buku (1) Kesaktian Super Surat Kabar Versus Kerakusan Super Ganas Koruptor. (2) GKR Hemas dalam Bianglala Pelajar Indonesia. (3) Y. B. Mangunwijaya, Puspa Pena Anak Muda. \r\nTwitter: @ramarmn_\r\nFacebook: Fauzy Ramadhan\r\nInstagram: @ramarmn

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Herry Zudianto is My Hero"

11 April 2018   19:30 Diperbarui: 11 April 2018   19:36 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: bunghattaaward.org

Aku akan bercerita tentang pengalaman pertamaku bertatap muka langsung dengan mantan kepala pelayan masyarakat Kota Yogyakarta, Bapak Herry Zudianto. Dan bagaimana sosok tersebut dapat membuatku tergerak untuk menjadi pelajar yang antikorupsi.

Sebelumnya, di suatu pagi yang cerah, pada pertengahan tahun 2011, aku bersama 3 orang temanku berkumpul di halaman depan sekolah dengan mengenakan seragam pramuka lengkap. 

Pada saat itu, kami didapuk untuk menjadi perwakilan sekolah dalam memenuhi undangan sebuah acara yang diadakan oleh salah satu organisasi kemanusiaan. 

Acara tersebut berlokasi di Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta. Kami pun berangkat menuju lokasi acara hanya dengan berjalan kaki karena jarak tempuh yang relatif dekat. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan seorang nenek renta penjual peyek kacang. Ia mengenakan pakaian yang sangat sederhana dan terlihat lusuh. 

Alas kakinya pun hanya sandal jepit sederhana yang sudah usang dan tepos. Nenek penjual peyek kacang tersebut kemudian menghampiri kami. Dengan mimik muka setengah memelas, ia menawarkan peyek kacang seharga 5000 rupiah per bungkus. Peyek kacang yang ditawarkan kepada kami terbungkus rapi dalam kemasan plastik dan tampak masih menumpuk penuh di dalam keranjang kecil yang ia jinjing, mungkin karena belum ada satupun yang laku terjual. 

Di saat nenek renta tengah menawarkan dagangannya, ada satu temanku yang spontan mengajak aku dan yang lain untuk tidak menggubris nenek renta penjual peyek kacang tersebut. Aku dan teman-temanku pun kemudian melanjutkan perjalanan dengan hanya memberikan respon senyuman kepada nenek renta tersebut. 

Entah apa yang ada dipikiranku saat itu dengan tidak memedulikan dan membantu melarisi dagangan nenek renta penjual peyek kacang, padahal saat itu aku membawa uang yang lebih dari cukup. Uang yang berhasil aku dapatkan dari hasil menjuarai lomba menulis essay beberapa hari sebelumnya.

Sesampainya di Monumen Serangan Umum 1 Maret, kami berempat langsung mencari tempat duduk paling depan agar bisa leluasa memantau jalannya acara. Beberapa saat kemudian acara pun dimulai. Pembawa acara kemudian menyerukan sebuah nama yang sudah tidak asing di telingaku. Nama tersebut ditugasi untuk memberikan kata sambutan dari atas mimbar. 

Benar saja, orang yang dimaksud oleh pembawa acara adalah sang kepala pelayan masyarakat kota Yogyakarta pada saat itu, Bapak Herry Zudianto. Aku pun semakin terkesiap tatkala Pak Herry berjalan menuju panggung yang hanya berjarak beberapa meter di depanku. Ia terlihat gagah dan berwibawa dengan mengenakan pakaian seragam dinas berwarna cokelat. 

Itulah momen pertamaku melihat secara langsung dengan mata kepalaku sendiri sosok walikota Yogyakarta yang selama ini aku idolakan, yang selama ini hanya bisa aku lihat melalui kalender cetak dan melalui internet saja. Setelah acara dinyatakan selesai, hal yang telah kuduga sebelumnya benar terjadi. Puluhan peserta pelajar lain langsung berbondong-bondong menghampiri Pak Herry untuk meminta foto bersama dengannya. 

Antrean Panjang pun dimulai bersamaan dengan perasaan deg-deganku yang semakin bergejolak karena one step closer berada di samping sang idola. Setelah menunggu beberapa antrean dalam perburuan subjek foto langka nan menarik tersebut, akhirnya aku mendapati giliranku berdiri persis di samping Pak Herry. Dengan sigap aku langsung meminta pria tampan berkacamata itu untuk foto bersamaku berdua saja. 

Permintaanku langsung diiyakan olehnya. Hatiku senang sekali kala itu. Kemudian, tangannya langsung menyambangi pundakku. Dengan pose mringis jaya dan debaran hatiku yang meletup sumringah, gambar kami diabadikan oleh temanku yang kebetulan membawa kamera saku. Belum juga dijepret, tiba-tiba aku hilang keseimbangan dan terpeleset jatuh. 

Pak Herry Zudianto dengan cekatan langsung menolongku untuk bisa kembali berdiri. Kebetulan posisi berdiri kami saat itu berada di barisan anak tangga yang cukup licin, persis di depan patung monumen. Aku pun hanya bisa tertawa sambil menahan malu, hehe. Setelah sesi narsis usai dilakukan, Pak Herry Zudianto seketika mencubit pipiku untuk menunjukkan ekspresi kerahmahtamahan denganku yang merupakan pelajar. 

Kemudian beliau memberi pesan kepadaku dan teman-temanku untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar kelak bisa menjadi orang sukses. Sungguh hari keberuntungan yang luar biasa dan bersejarah dalam hidupku dapat berinteraksi langsung dan merasakan sentuhan kasih sayang dan sikap kepedulian yang nyata dari orang nomor 1 di Kota Yogyakarta saat itu, Bapak Herry Zudianto.

Semenjak hari itu, aku semakin yakin untuk menjadikan sosok Herry Zudianto sebagai teladanku dalam kehidupan bernegara. Karena sifatnya yang penuh dengan kepedulian dan kasih sayang merupakan sifat dasar antikorupsi. 

Terbukti, pada tahun 2010 silam, Pak Herry berhasil menerima penghargaan "Bung Hatta Anti Corruption Award" (BHACA). Tidak semua birokrat mampu mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut. Orang-orang yang terpilih harus memiliki integritas tinggi dan berani melakukan tindakan nyata yang berkelanjutan dalam memerangi korupsi.

Aku pun belajar banyak dari sifat kepedulian dan kasih sayang Pak Herry.

Menurutku, Pak Herry adalah salah satu contoh riil pemimpin yang baik. Karena ia memimpin dengan sepenuh hati untuk melayani rakyat dan ia memimpin dengan gaya hidup yang sederhana. Bahkan dengan harta pribadinya, Pak Herry kerap memberikan bantuan sukarela kepada masyarakatnya yang membutuhkan. Sungguh kebaikan hati yang layak untuk kita apresiasi. 

Oiya, aku jadi ingat nenek renta penjual peyek kacang yang aku ceritakan tadi. Tiba-tiba rasa menyesal karena tidak sempat melarisi dagangan nenek renta tersebut muncul setelah aku belajar dari sifat kepedulian Pak Herry. 

Seharusnya aku lebih bisa bijaksana dalam menentukan sikap. Seharusnya aku bisa mengapresiasi kerja keras nenek renta penjual peyek kacang tadi dengan membeli peyek kacangnya walaupun sebenarnya aku sedang tidak ingin makan peyek. Toh nenek renta tadi bukanlah seorang pengemis yang hanya mau meminta-minta tanpa mau berusaha ekstra. 

Lagipula dengan melihat kondisi fisiknya yang renta dan pakaian yang dikenakannya sudah tidak layak pakai, seharusnya aku sebagai manusia biasa mau menaruh rasa iba dan melakukan aksi nyata terhadap nenek renta itu. 

Apalagi saat itu aku sedang memiliki rezeki berlebih yang bisa aku gunakan untuk membantu sesamaku yang lebih membutuhkan. Ah, sudahlah. Penyesalan tiada berarti. Biarkan sikap egoku tadi menjadi pembelajaranku ke depan agar bisa menjadi manusia yang mau melayani manusia lainnya dengan sepenuh hati, seperti yang telah diajarkan oleh Pak Herry. 

Dengan menanamkan sifat kepedulian dan kasih sayang dalam diriku, semoga aku bisa menjadi pelajar yang antikorupsi.

Terimakasih Pak Herry, engkau telah mewakafkan dirimu sehingga dapat bermanfaat untuk kotaku tercinta. Aku menyadari bahwa kemajuan kotaku selama ini adalah berkat kerja kerasmu, pak. Engkau adalah pahlawanku, pahlawan kota ini. 

Semoga sepuluh atau duapuluh tahun lagi aku bisa menjadi sosok sepertimu sebagai the next Herry Zudianto untuk kota Yogyakarta yang semakin maju, tetap menjadi kota antikorupsi dan  menjadi trendsetter bagi kota-kota lain di Indonesia. Hehe. Salam integritas dab!

Fauzy Ramadhan

Pelajar Kelas 12 SMA Negeri 10 Yogyakarta

(Tulisan ini adalah tulisan saya dalam buku Mengoptimalkan Kesaktian Super Surat Kabar Versus Kerakusan Super Ganas Koruptor yang tebit tahun 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun