Kecerdasan adalah sesuatu yang kita miliki sejak lahir, tapi berpikir adalah keterampilan yang harus dipelajari.
Halo sahabat, kembali lagi dengan saya Fauzul. Kali ini saya akan membahas buku Lateral Thinking karya Edward de Bono. Buku ini membahas cara meningkatkan kreativitas dari sudut pandang yang berbeda.
Di sekolah, kita belajar untuk menghadapi masalah secara langsung. Kita diajarkan kalau masalah tertentu maka ini solusinya. Ini yang dinamakan vertical thinking, cara ini bekerja dengan baik dalam sebuah situasi yang sederhana. Tapi sayangnya di berbagai situasi cara ini justru gagal dan pada akhirnya bisa menghambat pertumbuhan diri dan pikiran kreatif. Kita hanya berpikir berdasarkan fakta dan hanya menggunakan pendekatan yang sudah terbukti sebelumnya. Alhasil, boleh dibilang kita jadi kehilangan kemampuan untuk berpikir secara kreatif.
Menulis memperkenalkan cara baru yang dikenal sebagai lateral thinking. Sederhananya, ini adalah soal membebaskan imajinasimu. Kamu menstimulasi pikiran dengan cara yang baru dan menarik. Jadi kamu melihat sebuah masalah dari berbagai sudut pandang dan menawarkan solusi yang cerdik sekaligus efektif. Kamu akan menjadi jauh lebih produktif dan menjadi pemikir yang ulung.
Saya merangkumnya menjadi 3 hal penting dari buku ini:
Pertama, vertical thinking versus lateral thinking.
Tumbuh dewasa, kita belajar kalau masyarakat seringkali membagi seorang menjadi 2 tipe. Entah seseorang yang lebih suka angka atau seseorang yang lebih suka artistik atau bidang kreatif. Asumsi ini tidak sepenuhnya salah, tapi hal ini bisa menghambat pertumbuhan pribadi seseorang.
Seseorang dari kategori tertentu cenderung fokus pada preferensinya dan menolak untuk belajar kategori yang lain. Dunia kita saat ini memang dibentuk berdasarkan vertical thinking dan berhubungan dengan cara kerja otak. Otak kita merupakan sebuah sistem yang mampu mencari pola dan menyusun informasi, selain banyak fungsi lainnya. Artinya kita membentuk opini berdasarkan ingatan yang kita miliki, pola yang kita temukan dan data yang kita kumpulkan.
Dari kecil kita juga terbiasa dengan cara ini. Misalnya, kita belajar untuk memahami huruf dan angka. Jadi kita bisa mengenalinya walaupun sebagian huruf dan angka tertutup. Ini adalah tipe berpikir di mana kita mengambil sebuah konsep, menguatkannya, lalu mendukungnya dengan data dan fakta. Ibaratnya kamu sedang menggali tanah untuk menanam idemu di sana. Tapi di sisi lain semakin familiar kita dengan sesuatu, kita cenderung menganggap remeh dan dengan senang hati melakukannya dengan cara lama.
Tapi perlu dipahami proses kreatif itu krusial untuk pertumbuhan manusia. Kita harus bisa memberikan ruang bagi pikiran untuk berpikir ulang dan memperbarui cara lama. Lateral thinking adalah metode untuk mempertanyakan sebuah pola, mengetesnya, mencari tahu apakah cara tersebut bisa diperbaharui atau diperbaiki. Kita memerlukan 2 pikiran ini, vertical thinking dan lateral thinking. Namun karena kita sudah terbiasa dengan vertical thinking sejak kecil, maka kita perlu belajar cara baru karena pada saatnya kita perlu dengan sengaja melawan logika yang ada dan cara cara lama untuk mendapatkan hasil yang berbeda. Di sinilah kemampuan kamu untuk berpikir out of the box berguna.
Kedua, belajar lateral thinking.
Beberapa orang mungkin secara alamiah terbiasa untuk berpikir secara lateral, namun sebagian lainnya ini merupakan cara pikir yang baru dan seringkali melawan pemahaman yang sudah ada. Ada orang yang bilang dirinya terbuka pada ide baru dan bersedia mengeksplorasi alternatif lain. Tapi sayangnya, kenyataan tidak begitu. Wajar saja, ada resisten dalam diri seseorang ketika berhadapan dengan sesuatu yang tidak familiar. Walaupun begitu, setiap orang bisa kok mendapatkan manfaat dari lateral thinking dengan usaha dan waktu.
Mungkin kita perlu memahami kalau lateral itu artinya bergerak ke samping daripada melihat ke depan. Lateral thinking adalah proses untuk mencari alternatif lain dengan tujuan untuk mendisrupsi pola yang sudah ada. Jadi entah kamu bisa menciptakan pola yang baru, atau memperbarui yang lama.
Mungkin kamu bisa melatih diri kamu dengan quota. Misalnya kamu berlatih untuk menuliskan 5 ide bisnis baru setiap harinya ketika kamu ingin mulai berbisnis. Mungkin awalnya kamu tidak tahu mau bisnis apa, tapi ketika kamu melakukan latihan ini terus menerus, kamu mulai memaksa otak kamu untuk berpikir dengan cara yang berbeda. Berusaha mencari alternatif lain dari apa yang kamu jalani sekarang. Alhasil, semakin sering kamu melakukannya, maka kamu jadi semakin ahli untuk berpikir kreatif.
Poin lain yang penting yaitu jangan buru buru menghakimi ide seseorang tidak berguna atau ide yang buruk sebelum berdiskusi dengan orang tersebut. Kamu harus percaya kalau ada alasan dibalik ide tersebut. Dan mungkin saja memang benar kalau ide yang disampaikan itu tidak bisa dipakai. Tapi alasan di baliknya mungkin bisa membantu kamu untuk menemukan jawaban yang baru.
Ketiga, latihan berpikir lateral thinking.
Jika ditanya apakah kamu orang yang kreatif, mungkin sebagian orang merasa tidak. Nah, apa sih yang membuat seseorang sulit berpikir kreatif? Mungkin karena mereka punya kecenderungan untuk ingin selalu benar. Mereka ingin jadi orang yang efektif dan efisien. Alhasil mereka sulit membiarkan diri mereka untuk salah.
Kesempurnaan menjadi musuh dirinya sendiri untuk bertumbuh. Perlu dipahami, ketika kita bisa menghasilkan banyak solusi potensial, maka kita sedang meningkatkan probabilitas kita untuk benar di masa depan. Secara umum tidak ada ide yang salah dalam lateral thinking. Faktanya, ide yang terlihat buruk di awal seringkali menjadi katalis bagi kreativitas.
Misalnya, setelah mempermainkan konsep yang salah bahwa gelombang radio akan mengikuti lengkungan bumi, Guglielmo Marconi berhasil mengirimkan sinyal nirkabel melintasi lautan. Hingga akhirnya Marconi dikenal sebagai seorang yang menciptakan fondasi untuk telegrafi nirkabel dan radio.
Inilah alasan kenapa sesi lateral thinking perlu bebas dari penghakiman karena kamu tidak tahu ide mana yang akhirnya malah jadi sebuah terobosan. Kreativitas seringkali berhubungan dengan keluar dari pola yang lama untuk melihat sesuatu dengan cara yang berbeda. Bagaimana bila kamu melihat semua masalah bukan dari titik awal, tapi dari titik akhir.
Coba bayangkan sebuah buku anak anak dengan gambar puzzle. Ada 3 nelayan yang duduk di perahu terjerat dalam 3 tali pancingnya. Seekor ikan terperangkap di salah satu kait di bagian bawah. Pertanyaannya, siapakah nelayan yang menangkap ikan tersebut?
Biasanya seorang anak akan menelusuri setiap tali pancing satu per satu dimulai dari atas terus ke bawah hingga menemukan tali pancing yang benar. Bagaimana bila anak itu memulainya dari bawah dengan ikannya dan terus ke atas hingga mencapai nelayan yang beruntung?
Otak kita tidak familiar dengan cara tersebut. Tapi memang, ini adalah sesuatu yang berusaha diubah dengan latihan lateral thinking. Idenya adalah kita berusaha menciptakan solusi dari sudut pandang yang tidak terduga dan memperhatikan bagian detail yang seringkali terlewat.
Editor: Fauzul Ikfanindika
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI