Mohon tunggu...
Muhamad FauziZakaria
Muhamad FauziZakaria Mohon Tunggu... Freelancer - mencoba belajar menulis, tolong ingatkan jika salah

menerima kritik layaknya gaji di tanggal muda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelaah Fungsi Kyai Saat Pandemi

2 September 2020   19:24 Diperbarui: 2 September 2020   19:43 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah sekitar 7 bulan media massa disesaki berita mengenai pandemi covid-19. Pemberitaan yang seolah enggan hengkang menunjukkan bahwa pandemi yang mendera hampir seluruh dunia ini merupakan momok menakutkan yang harus dilawan bersama secara kolektif oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali.

Yuval Noah Harari dalam sebuah artikel berjudul The World After Coronavirus menjelaskan jika satu-satunya cara yang efektif dalam menangani malapetaka wabah covid-19 adalah dengan membentuk sebuah solidaritas global yang berlandaskan kepercayaan kepada hasil penelitian-penilitian sains.

Hasil-hasil dari temuan para saintis kemudian disosialisasikan kepada seluruh masyarakat sebagai aktivitas mitigasi pencegahan yang bersifat preventif. Virus yang disebarkan lewat droplet yang keluar dari mulut dan hidung manusia ditangkal dengan himbauan memakai masker, rajin mencuci tangan, mengindari keramaian (social distancing) dan melakukan pembatasan fisik (physical distancing).

Himbauan diatas terus diulang-ulang dengan harapan bahwa masyarakat bisa tertib dan membuat persebaran virus menjadi melambat sehingga curva temuan kasus positif lekas landai dan berangsur-angsur berkurang. 

Sayangnya himbauan yang terus didengungkan tidak serta merta membuat masyarakat menjadi patuh menjalankan protokol kesehatan yang diterapkan. Alasan-alasan seperti masker hilang, lupa dibawa, dan sebagainya terus saja dilayangkan oleh sebagian masyarakat sebagai legitimasi pembenaran akan keteledoran yang dilakukan.

Presiden Jokowi dalam video yang dirilis oleh Sekretariat Presiden tanggal 7 mei 2020 mengumumkan bahwa masih banyaknya laporan-laporan aktivitas berkerumun atau berkumpul oleh warga diperkampungan-perkampungan. Sebuah berita yang sungguh ironi mengingat himbauan mengenai bahaya virus covid-19 juga telah disosialisasikan oleh lurah-lurah dan kepala desa-kepala desa.

Masyarakat di perkampungan (khususnya di pemukiman beragama islam) masih didominasi oleh masyarakat islam tradisinal yang cenderung bercorak jabariyah, ekslusif dan kurang tertarik kepada ilmu pengetahuan (Robby, 2017). 

Kondisi yang demikian menuntut tidak hanya komunikasi dari pemimpin formal yakni pemerintah saja, melainkan juga perlu adanya andil dari pemimpin non-formal seperti Kyai yang dianggap sebagai sesepuh dan pemegang otoritas pengatahuan di tengah masyarakat.

Hirokoshi (1987) dalam bukunya Kyai dan Perubahan Sosial menunjukkan bahwa Kyai memiliki kekuatan sebagai sumber perubahan sosial di tengah masyarakat. Term "Kyai" sendiri dimaknai oleh Nurcholis Madjid (1997) sebagai sesuatu yang di-tua-kan. 

Kyai dipandang memiliki keilmuan mendalam dibidang agama, kesaktian (karomah), kesakralan dan memiliki kharisma. Wajar apabila Kyai mendapatkan tempat terhormat di tengah masyarakat serta sering digunakan sebagai rujukan atas segala permasalahan yang ada.

Kelebihan yang dimiliki Kyai membuat masyarakat memandang Kyai sebagai pemimpin non-formal yang layak untuk diikuti dalam peran pengambilan keputusan selain pemimpin formal seperti pemerintah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun