“tak ada manusia yang terlahir sempurna..” (d’masiv)
Yap betul sekali, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Kesalahan kecil atau besar, kesalahan yang kita sadari ataupun yang tidak kita sadari. Eiits, jangan salah lho ya, sikap yang kita anggap benar belum tentu dianggap benar juga sama orang lain, bisa saja ternyata dia merasa tersakiti oleh ketidaksengajaan kita itu. Nah, saat kita merasa bersalah, pastilah kita akan meminta maaf kepada orang yang merasa tersakiti oleh kita. Tapi pernahkan kalian berada di posisi sebaliknya, merasa tersakiti oleh orang lain atau bahkan sampai saat ini pun rasanya masih belum bisa memaafkan? Nah, yang sering galau pasti jawabnya kompak, “Pernaah..” oke, kita lanjutkan pembahasan.
MEMAAFKAN, memang bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun rasanya perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Sebagai seorang yang beriman, tentunya kita tau dong bagaimana sifat tauladan kita Rasulullah saw. Beliau adalah seorang “pemaaf”, dan sifat inilah yang seharusnya dapat kita tiru. Rasulullah adalah pribadi yang suka memaafkan orang lain, beliau tidak memandang itu kesalahan besar atau kecil, itu disengaja atau tidak, sudah dilakukan atau belum dilakukan, semua kesalahan orang lain sudah beliau maafkan bahkan sebelum orang tersebut meminta maaf kepada beliau. Bisakah kita berlaku demikian? Jawabannya, “bisa”. Caranya adalah dengan berlatih diri untuk senantiasa menahan amarah. Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebutuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keping-keping darah, yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan meningkatkan peluang terjadinya serangan jantung. Ketika marah, detak jantung meningkat melebihi batas wajar, dan menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, dan oleh karenanya memperbesar kemungkinan terkena serangan jantung. Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress, susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang ini. Dalam bukunya, Forgive for Good (Maafkanlah demi Kebaikan), Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri seseorang. Permasalahan tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir jernih atau justru memperburuk keadaan. Sebuah tulisan berjudul "Forgiveness" [Memaafkan], yang diterbitkan Healing Current Magazine [Majalah Penyembuhan Masa Kini] edisi bulan September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa, meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain. Semua penelitian yang ada menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan,meskipun di satu sisi terasa berat tetapi di sisi lain terasa membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin. Dengan kita memaafkan kesalahan orang lain, tentu saja beban pikiran kita juga akan berkurang, ganjalan di dalam hati pun demikian sehingga hati kita menjadi tenteram (gak galau) dan hidup kita menjadi lebih ringan. Dan jika memang kita mau memaafkan orang lain, niatkanlah untuk mencari keridhoan Allah. Bukankah kita hanya boleh membenci sesuatu hanya karena Allah? Maka kita memaafkan sesuatu pun karena Allah. Demi menjaga hubungan baik dan silaturahmi, jangan pernah menyimpan dendam kepada orang lain. Dendam itu asalnya dari dalam hati dan ingatan kita. Kenapa? Ya, karena orang akan selalu merasa dendam jika dia terus mengingat-ingat kejadian yang menyakitinya itu. Maka jika ingin tulus memaafkan orang lain, maafkanlah dia dan lupakanlah kesalahannya. Ingat! Forgive and forget it! Semoga bermanfaat... :-)
Sumber rujukan : kajian ilmiah islam Harun Yahya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI