Mohon tunggu...
Ahmad Fauz
Ahmad Fauz Mohon Tunggu... Peneliti dan Dosen -

Penekun Kajian Keislaman dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasila dalam Aras Kehidupan Berbangsa

14 Agustus 2018   15:33 Diperbarui: 14 Agustus 2018   18:44 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ledakan emosi keagamaan yang membuncah belakangan ini hendaklah tidak berhenti sekadar ekspresi amarah jalanan. Gairah keagamaan harus menyentuh kedalaman yang lebih substantif: mempersoalkan basis spiritualitas kemajuan bangsa. Sebab saat ini, agama cenderung larut dalam formalisme, diekspresikan dalam kebisingan. Jauh dari sunyi yang kudus, kebatinan mikrokosmos yang melebarkan diri dalam kebatinan makrokosmos dalam menyelami kedalaman spiritualitas.

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan lahiriah formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa penghayatan yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri, dan keraguan dalam hidup (hal. 23).

Buku karya Yudi Latif ini mengajak kita mereguk makrifat keberagamaan dan nilai-nilai Pancasila untuk bekal hidup berbangsa, bernegara, beragama, bahkan bermanusia. Seperti halnya Pancasila, buku ini berisi 5 tema; ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan-kepemimpinan, dan keadilan-keadaban.

Nilai ketuhanan identik dengan cinta. Semua agama diturunkan Tuhan untuk menyemaikan cinta-Nya di muka bumi. Tanpa menyelam di kedalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, kehangatan penghayatan, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang-suci dan yang-profan.

Pada nilai kemanusiaan, sebagai citra Tuhan, manusia seyogianya memandang hidup secara positif dan optimistis. Setiap pribadi tak tercipta sia-sia, melainkan orang-orang spesial dengan misi kepahlawanannya sendiri-sendiri. Mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri adalah kaidah emas bagi kebahagiaan hidup. Dan harmoni dalam kemajemukan adalah kode genetik bangsa ini (hal. 94).

Indonesia, bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, telah terbiasa menerima perbedaan. Bahkan jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan titik-titik temu dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi Indonesia dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua.

Jadi nilai kebangsaan kita modal utamanya adalah menerima perbedaan yang jangan hanya berhenti di situ. Perbedaan bukanlah titik-temu. Ia adalah hamparan fakta yang harus diakomodasi seraya terus mencari titik-temu persamaannya. Jika kulit berbeda, lihatlah darah-merah dan tulang-putih yang sama. Jika etnis berbeda, lihatlah kalbu bahwa ia berasal dari induk-tunggal yang sama. Saat agama berbeda, namun bukankah sama-sama menyembah Tuhan, yang mungkin berbeda, tapi sadarilah ia hanyalah sebutan untuk esensi Tuhan yang sama (hal 134).

Buku yang ditulis Kepala BPIP sebelum memilih mundur ini bertutur; banyak orang berkuasa dengan mental jelata, mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan (hal 189).

Padahal, adalah Agus Salim, yang sering mengingatkan bahwa memimpin adalah menderita. Sementara kredo pemimpin hari ini, memimpin adalah menikmati. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik; mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan.

Kepemimpinan menjadi krusial ketika roda perubahan terus berputar, tetapi tanpa hasil perbaikan. Kita sekarang sudah di episode reformasi, tetapi demokrasi dirayakan dengan aneka upacara akrobatik politik. Kepemimpinan transformatif ke era reformasi berjalan tanpa perbaikan kualitas hidup. Wajah bengis militeristik hanya berganti menjadi wajah lembut permainan prosedural. 

Namun bagaimanapun, harus tetap ada aktualisasi politik, harapan demokrasi yang berdasarkan meritokrasi. Disinilah peran masyarakat sipil-kerakyatan untuk melakukan kontrol vertikal atas kebijakan dan perilaku masyarakat politik-kepemimpinan amat diharapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun