Mohon tunggu...
fauzi baim
fauzi baim Mohon Tunggu... Buruh - Tetap Belajar untuk baik

Tetap semangat 083856253617

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Semudah yang Orang Kira

16 November 2016   17:42 Diperbarui: 16 November 2016   17:52 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah beberapa minggu libur dari aktifitas jualan rutin, hari ini senin 14 November 2016 mulai berjualan lagi. Seperti halnya yang sudah-sudah, ketika mengawali jualan, tentunya semua bahan baku harus dibeli semua. Dan itu tidaklah dengan biaya yang sedikit. Malam sebelum berjualan kekasihku bertanya, mas apa besok modal kita akan kembali? sekarang jualankan musimnya sepi semua? sembari memblender kunyit. Insya Allah laris jawabku menenangkan. 

 Malam berjalan, kekasihku terlelap bersama sikecil di sampingnya. Diriku diliputi perasaan tak tenang dan gelisah. Duduk dan menghisap sebatang demi sebatang sebagai pengisi waktu agar kantuk segera datang. Ahhh kantukpun tak kunjung datang, akhirnya aku manfaatkan waktu tengah malamku untuk pembuatan jamu atau memasukkan kedalam botol-botol yang tampak mengkilap karena masih gres. Tak terasa jam hanphone sudah menunjukkan pukul 2 pagi lewat, kekasihku mungkin terkejut karena tidak mendapati aku yang seharusnya berada disampingnya. Dia berteriak dengan penuh keromantisan, maas sampean tilem binjeng sadean '' mas silahkan istirahat tidur besok jualan'' ucapnya. Akupun tak kuasa menolak permintaannya dan aku langsung tidur disampingnya, sembari bersembunyi dibalik selimut tebal warna kuning mentah.

Mas-mas sampun subuh, kekasihku membangunkanku. Lalu aku bangun dan  bergegas mengambil wudlu untuk tunaikan sholat subuh berjamaah. Selepas sholat sayapun langsung melanjutkan pekerjaan semalam yang belum tuntas. Sedikit demi sedikit jamu itu saya tuangkan kedalam botol kemasan. Sementara kekasihku membungkusnya diplastik seperempatan, untuk tetangga yang menjualkan sebagaian daganganku.

Pukul 05 47 semua persiapan telah tertunaikan, sayapun pamit seperti biasa pada kekasihku. tapi sebelum itu, dia saya suruh untuk memotret diriku yang berangkat jualan dari belakang. Dengan keyakinan dan rasa optimis yang sangat kuat, saya melajukan motor dengan cepat. Tak berselang lama, tibalah saya di depan pabrik MPI Desa Karangbong gedangan. Melihat karyawan ada yang masuk, hati saya sangat senang. Bismillah saya turun dari sepeda motor.

Sekitar 20 menit, masih duduk diatas batu seukuran 2x bola basket namun bentuknya agak lonjong. Barulah ada pembeli yang datang. Alhamdulilah dapat penglaris lima ribu. Ibu yang memelarisi daganganku masih belum pergi jauh. Tiba-tiba rombong jamuku roboh dan jatuh keselokan. Untungnya selokan itu tidak ada airnya. Namun karena saya membawa bekal untuk cucian gelas, maka air itulah yang mengenai buku-buku yang ikut jatuh ke selokan. Basah, buku yang kubawa, karet, plastik dan daftar kartu peminjam buku. Aku tenangkan diriku, berusaha bersikap santai dan tidak terlalu terkejut. Ini untuk menutup atau mengurangi rasa malu, karena daganganku telah jatuh. 

Dua gelas, jadi korban dalam tragedi ini, sudah tak terselamatkan lagi, sementara buku dan barang lain yang basah masih bisa aku bersihkan dengan kain lap yang kubawa. Perlahan aku naikkan rombongku, aku betulkan posisi motorku. lalu buku-buku dan jamu yang berada diselokan aku bersihkan semua. Ini adalah takdir tuhan dan kuasanya, aku tak akan mengutuk atau mensumpah serapah atas apa yang menimpaku barusan. Namun aku harus menerima, mungkin ini adalah sebagian ujian dari tuhan.

Tak selang berapa lama, Alhamdulilah ada lagi pembeli. Total uang yang aku dapat di depan pabrik MPI hanya sepuluh ribu rupiah. Sekitar pukul delapan, karyawan pabrik juga sudah pada masuk, lalu aku putuskan seperti biasa melanjutkan keliling ke kampung-kampung. Ya Allah, lelah menyusuri jalanan, daganganku tidak ada yang beli. Ingat uang modal kulakan yang semalam, bagaimana aku bisa menerangkan pada isteriku, tentang hasil jualan hari ini.

Sekitar pukul setengah 12, ada teman yang watsap ingin membeli jamuku. Akupun langsung meluncur ke sekolahan tempat dia mengajar. Alhamdulilah, disana aku dapat uang 50 ribu. Ngobrol kanan dan kiri, tentang buku dan jamu, tak terasa waktu sudah menunjuk angka satu. Mau tidak mau aku harus cepat pulang, karena tidak biasanya aku pulang diatas jam dua belas. Lngit mendung yang siap menumpahkan air kenikmatannya, aku terjang saja, berharap sudah bisa sampai dirumah sebelum air turun.

Baru sekitar limaratus meter dari sekolah tempat temanku mengajar tadi, langit telah mencurahkan airnya. Aku lajukan motorku dengan cepat, berharap bisa dapat tempat berteduh untuk menyelamatkan buku-buku yang ada digerobak jamuku. Hidup tidaklah bisa selalu mendapatkan apa yang diharap. Air hujan kian deras, aku baru mendapatkan tempat berteduh di tempat cucian motor. Alhamdulilah, walau bajuku radak basah, dan sebagian buku yang diatasnya juga basah, rada tenag udah dapat tempat berteduh yang nyaman, setidaknya di tempat berteduh ini, juga menjual kopi yang bisa menghangatkan tubuhku.

Angin bertiup kencang dan hujannya semakin deras. Arah angin yang membawa hujan juga mengenai buku-bukuku. Aku tak berdaya, karena tak mungkin aku mendapatkan penutup untuk menyelamatkan buku-buku tersebut. Menangis dalam hati, iya, aku menangis. Cengeng juga diriku. Padahal sebagai lelaki, aku gak boleh nangis, tapi untungnya tak ada orang yang berteduh sepertiku yang melihat ketika aku menangis meratapi buku-buku yang basah.

Adzan ashar sudah berkumandang, hujan reda setelahnya. Aku bergegas untuk pulang. Cacing dalam perut sudah berteriak-teriak minta hidangan, maklum, seharian dia hanya kemasukan kopi dan es pemberian satpam di sekolah temanku tadi. Serasa mau pingsan, perut melilit sakit, maahku kambuh kayaknya. Tak lupa aku ambil uang selembar seratus ribu di Atm, ini akan aku berikan pada isteriku, aku gak tega jika harus mengatakan jualan pertama sangatlah sepi. Aku berbohong ya aku berbohong dan itu memang sering aku lakukan ketika jualan sepi. Karena aku hanya tidak tega melihat isteriku tampak sedih, melihat aku pulang bawa uang sedikit. Aku berharap, dengan uang ini dia bisa tersenyum dan tidak lelah dalam memproduksi jamu yang dibuatnya dengan penuh cinta dan doa kesembuhan untuk para pembelinya.

 Setiba dirumah, aku langsung minum segelas air hangat dan melanjutkan mandi. 

Itulah sebagian kisah, yang sering aku alami.@ fauzi penjual jamu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun