Faktor produksi tenaga kerja, misalnya. Mereka tidak perlu merekrut pengemudi, tetapi pengemudi itu sendiri yang mendaftar berbondong-bondong. Bahkan para calon pengemudi tersebut yang justru harus membayar untuk bisa diterima bekerja. Diperkirakan saat ini ada sekitar 2,5 sampai 3 juta pengemudi ojol di Indonesia dan jumlahnya terus bertambah. Untuk mendaftar, tiap pengemudi membayar relatif tidak murah.
Lalu faktor produksi modal/capital berupa aset. Perusahaan tidak perlu menyediakan motor. Malah sebaliknya, para pengemudi itu sendiri yang menyediakan motor untuk perusahaan.
Bahkan, jaket dan helm seragam yang menjadi identitas pengemudi pun tidak disediakan gratis oleh perusahaan. Pengemudi harus membayar untuk memperolehnya (biasanya include dalam biaya pendaftaran).
Mari kita perkirakan keuntungan mereka.
Grab, contohnya. Saat ini pengemudi Grab jumlahnya sekitar 1,5 juta. Jika dari satu pengemudi mereka dapat bagi hasil 10.000 ribu saja, maka penghasilan Grab sehari adalah
15 milyar!
Bayangkan, 15 milyar sehari! Luar biasa. Itu baru dengan asumsi 10.000, bagaimama jika asumsinya 10, 20, 30 ribu dan seterusnya?
Betapa besarnya keuntungan mereka tanpa perlu repot menyediakan faktor produksi yang mahal dan rumit.
Mereka hanya perlu menyediakan aplikasi yang stabil, mempekerjakan beberapa orang ahli IT, dan sejumlah karyawan pendukung.
Mereka juga tidak perlu gedung kantor yang besar dan mewah yang tentu mahal, karena karakteristik pekerjaan semuanya bisa dilakukan 'from anywhere'. Benar-benar bisnis yang cerdas.
Lebih "cerdas" lagi karena mereka ternyata juga tidak perlu keluar biaya sama sekali untuk membayar THR para driver tersebut. Sebab mereka mengklaim, para pengemudi tersebut bukan karyawan mereka, melainkan mitra.
Dengan status driver sebagai mitra tersebut, mereka juga terbebas dari permasalahan harus mem-PHK driver yang tidak perform atau bermasalah. Dengan demikian, otomatis mereka juga terbebas dari keharusan membayar biaya pesangon.