Mohon tunggu...
Fauziah Salma Khoirunnisa
Fauziah Salma Khoirunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi saya menulis, traveling, ikuti kegiatan sosial, konten yang saya tonton backpackertampan, asmanadia, dllnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Musim Penghujan Datang, Siap-Siap Banjir Kependudukan

19 Desember 2024   21:54 Diperbarui: 19 Desember 2024   21:52 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika musim penghujan tiba, banjir menjadi ancaman tahunan di banyak kota besar Indonesia, termasuk Jakarta. Namun, ancaman yang sering terabaikan adalah banjir kependudukan, yaitu ledakan jumlah penduduk di wilayah tertentu yang memperburuk dampak banjir air. Masalah ini bukan hanya soal curah hujan, tetapi juga soal buruknya pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang gagal mengimbangi pertumbuhan populasi.

Indonesia, dengan populasi mencapai 277 juta jiwa pada 2023 (data BPS), menghadapi tantangan besar dalam mengelola tekanan penduduk terhadap lingkungan. Di Jakarta, kota yang menampung lebih dari 11 juta jiwa, tekanan ini begitu terasa. Tingginya urbanisasi telah memicu pertumbuhan permukiman liar, terutama di daerah rawan banjir seperti bantaran sungai. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya ruang hijau yang hanya sekitar 9,98% dari luas wilayah Jakarta, jauh dari target ideal 30%.

Banjir air yang sering terjadi setiap musim hujan adalah konsekuensi langsung dari tumpang tindihnya masalah lingkungan dan sosial. Penyempitan sungai akibat permukiman liar, buruknya drainase, serta minimnya kesadaran masyarakat soal pengelolaan sampah menciptakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan. Namun, di balik ini semua, ada pertanyaan yang layak diajukan: sejauh mana pemerintah bertanggung jawab atas masalah ini?

Masyarakat sering menjadi kambing hitam atas permasalahan banjir, terutama terkait perilaku membuang sampah sembarangan. Namun, apakah adil jika kesalahan hanya ditimpakan kepada rakyat kecil? Peran pemerintah dalam mengelola tata ruang dan mengawasi pembangunan di wilayah rentan juga patut dipertanyakan.

Misalnya, proyek normalisasi sungai yang digadang-gadang sebagai solusi banjir justru berjalan lambat karena kurangnya koordinasi lintas sektor dan kendala hukum terkait penggusuran. Di sisi lain, program naturalisasi sungai yang diusulkan juga belum menunjukkan hasil yang signifikan. Kebijakan ini sering terkesan hanya menjadi wacana politik tanpa realisasi nyata.

Selain itu, kurangnya upaya serius untuk mendistribusikan pembangunan ke daerah-daerah di luar Jakarta membuat urbanisasi terus meningkat. Hal ini menciptakan banjir kependudukan yang memperburuk dampak banjir air. Mengapa insentif untuk mendukung transmigrasi atau pengembangan daerah rural masih minim?

Salah satu kritik terbesar terhadap pemerintah adalah lemahnya perencanaan jangka panjang dalam mengelola pertumbuhan penduduk. Program relokasi permukiman ilegal sering kali dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan warga yang terdampak. Akibatnya, mereka hanya pindah ke lokasi rentan banjir lainnya, menciptakan siklus permasalahan baru.

Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti sumur resapan dan waduk terkadang terfokus di wilayah tertentu tanpa mempertimbangkan potensi bencana di area lain. Ketimpangan ini mencerminkan kurangnya evaluasi menyeluruh dalam perencanaan kebijakan.

Untuk mengatasi banjir air dan banjir kependudukan, ada beberapa langkah prioritas yang harus diambil. Pemerintah perlu mendorong distribusi pembangunan yang lebih merata dengan memperkuat pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta, menciptakan lapangan kerja, dan menyediakan fasilitas yang setara. Selain itu, normalisasi dan naturalisasi sungai harus dilakukan secara bersamaan dengan pendekatan yang lebih humanis untuk memastikan efektivitasnya. Edukasi masyarakat juga menjadi hal penting, khususnya dalam membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan mendukung pengelolaan sampah terpadu. Tidak kalah penting, penataan permukiman harus dilakukan dengan adil, di mana relokasi warga perlu memperhatikan kesejahteraan mereka serta memastikan akses yang memadai ke fasilitas pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Banjir kependudukan adalah ancaman serius yang memperburuk dampak banjir air di musim penghujan. Tanpa perubahan mendasar dalam pengelolaan tata ruang dan populasi, masalah ini hanya akan semakin besar. Pemerintah perlu meningkatkan kecepatan dan efektivitas kebijakannya, sementara masyarakat juga harus turut aktif dalam menjaga lingkungan.

Namun, perlu diingat bahwa solusi tidak hanya terletak pada teknis atau kebijakan semata, melainkan pada keberanian semua pihak untuk bekerja sama. Dengan komitmen bersama, banjir baik air maupun kependudukan dapat diminimalkan demi masa depan yang lebih baik.

Oleh: Fauziah Salma Khoirunnisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun