Mohon tunggu...
Fauziah Salma Khoirunnisa
Fauziah Salma Khoirunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi saya menulis, traveling, ikuti kegiatan sosial, konten yang saya tonton backpackertampan, asmanadia, dllnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Plang "Stop Rokok Ilegal": Jaga Ekonomi, Tapi Kesehatan Dikesampingkan?

19 Desember 2024   10:55 Diperbarui: 19 Desember 2024   10:54 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Langkah pemerintah memasang plang bertuliskan "Stop Rokok Ilegal, Demi Menjaga Ekosistem Pertanian Tembakau, Meningkatkan Pendapatan Petani, dan Penerimaan Negara Guna Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa" menuai perhatian publik. Kampanye ini jelas berorientasi pada perlindungan ekonomi: menjaga pendapatan negara dari bea cukai, menghidupkan sektor pertanian tembakau, dan meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, muncul kritik tajam dari masyarakat yang mempertanyakan, apakah kesejahteraan kesehatan masyarakat tidak menjadi prioritas?  

Tidak bisa dipungkiri, bea cukai rokok adalah salah satu penyumbang utama pendapatan negara. Pada tahun 2023 saja, penerimaan dari cukai hasil tembakau mencapai ratusan triliun rupiah. Dana ini digunakan untuk berbagai program pembangunan, termasuk di sektor kesehatan. Namun, ironisnya, dampak rokok terhadap kesehatan masyarakat tidak banyak disinggung dalam kampanye ini.  

Plang dengan tema seperti ini seakan mengesankan bahwa rokok legal aman dikonsumsi, padahal kenyataannya, baik rokok legal maupun ilegal sama-sama membawa risiko kesehatan yang serius. Penyakit seperti kanker paru-paru, gangguan pernapasan, dan penyakit jantung adalah konsekuensi nyata dari konsumsi tembakau. Ketika pemerintah hanya fokus pada aspek ekonomi tanpa menyertakan edukasi kesehatan, muncul kesan bahwa kesehatan masyarakat menjadi isu sekunder.  

Frasa "demi kesejahteraan bangsa" dalam plang tersebut juga menimbulkan interpretasi yang sempit. Apakah kesejahteraan hanya diukur dari aspek ekonomi? Jika ya, maka langkah ini berpotensi melanggengkan pandangan bahwa pemerintah lebih peduli pada neraca pendapatan daripada kualitas hidup masyarakat.  

Padahal, kesejahteraan sejati mencakup aspek holistik yaitu ekonomi, sosial, dan kesehatan. Sayangnya, pesan ini hilang dalam kampanye tersebut. Pemerintah tampaknya melewatkan kesempatan untuk menyampaikan pesan yang lebih utuh. Kampanye ini bisa saja menjadi momen strategis untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya konsumsi rokok, sekaligus mempromosikan gaya hidup sehat.  

Sementara itu, transparansi pemerintah terkait alokasi dana bea cukai juga patut dipertanyakan. Jika masyarakat memahami bahwa pendapatan dari cukai rokok digunakan untuk mendanai program-program kesehatan, seperti layanan berhenti merokok atau peningkatan fasilitas kesehatan, maka kepercayaan terhadap kebijakan ini dapat meningkat. Sayangnya, pesan ini juga tidak terlihat dalam kampanye tersebut.  

Pemerintah berada di tengah dilema besar. Di satu sisi, industri tembakau menjadi salah satu penggerak ekonomi utama, terutama bagi para petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil panen tembakau. Sektor ini menciptakan lapangan kerja, menyokong stabilitas ekonomi, dan menjadi andalan bagi banyak daerah di Indonesia.  

Namun, di sisi lain, pemerintah juga memikul tanggung jawab untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok. Ketika kampanye seperti ini hanya menekankan manfaat ekonomi tanpa mengimbangi dengan pesan kesehatan, pemerintah justru terlihat berat sebelah. Sebagai konsekuensi, muncul persepsi publik bahwa kesehatan masyarakat bukan prioritas utama.  

Sebagai solusi, pemerintah perlu mempertimbangkan pendekatan kampanye yang lebih holistik. Kampanye seperti ini tidak seharusnya hanya menyoroti aspek ekonomi, tetapi juga menyertakan pesan tentang bahaya merokok, baik legal maupun ilegal. Misalnya, visual pada plang dapat menampilkan informasi mengenai risiko kesehatan dari konsumsi tembakau.  

Selain itu, pemerintah juga dapat memanfaatkan kampanye ini untuk mempromosikan program berhenti merokok. Layanan konseling atau hotline gratis dapat menjadi salah satu wujud nyata kepedulian terhadap kesehatan masyarakat. Di sisi lain, transparansi penggunaan dana bea cukai juga perlu ditingkatkan. Jika masyarakat tahu bahwa pajak dari rokok digunakan untuk layanan kesehatan atau program rehabilitasi, kepercayaan terhadap kebijakan ini pasti akan lebih kuat.  

Melibatkan tokoh kesehatan atau organisasi non-pemerintah juga dapat menjadi strategi efektif. Kolaborasi ini akan memperkuat pesan bahwa pemerintah tidak hanya peduli pada ekonomi, tetapi juga serius dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.  

Plang "Stop Rokok Ilegal" yang dibangun pemerintah mencerminkan upaya untuk melindungi pendapatan negara dan meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, tanpa memasukkan elemen kesehatan dalam kampanye tersebut, langkah ini berpotensi memperkuat persepsi bahwa pemerintah hanya fokus pada ekonomi semata.  

Kesejahteraan bangsa tidak bisa hanya diukur dari neraca keuangan. Kesejahteraan sejati adalah keseimbangan antara ekonomi yang kuat dan rakyat yang sehat. Dengan kampanye yang lebih holistik, pemerintah tidak hanya menjaga penerimaan negara, tetapi juga memberikan perlindungan yang nyata bagi masyarakatnya. Karena pada akhirnya, apa arti ekonomi yang maju jika kesehatan rakyat justru terpinggirkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun