Mohon tunggu...
Aminatu Fauziah Rohmadani
Aminatu Fauziah Rohmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Soiologi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus "Wanprestasi pada Akad Murabahah di Bank Syariah Purbalingga" Dalam Perspektif Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence

7 Oktober 2024   18:33 Diperbarui: 7 Oktober 2024   18:49 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

TUGAS INDIVIDU

Aminatu Fauziah Rohmadani

222111001

Berdasarkan kasus wanprestasi dalam akad murabahah di Bank Syariah yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Purbalingga Nomor 1039/Pdt.G/2014/PA.Pbg, terdapat beberapa norma, kaidah, dan aturan yang terkait dengan wanprestasi dalam hukum ekonomi syariah. Berikut adalah analisisnya:

Dalam hukum ekonomi syariah, prinsip keadilan sangat ditekankan. Akad murabahah, seperti yang terjadi dalam kasus ini, harus dilaksanakan dengan keadilan antara kedua belah pihak. Jika terjadi wanprestasi, penanganannya harus adil bagi kedua pihak, baik nasabah maupun bank syariah. Denda atau ganti rugi yang diberikan kepada nasabah harus proporsional dan tidak melanggar prinsip keadilan Islam yang melarang riba atau eksploitasi.

Hukum ekonomi syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) bagi seluruh pihak yang terlibat. Dalam konteks wanprestasi, penyelesaiannya harus mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat dan nasabah, tidak hanya menguntungkan pihak bank. Dalam hal ini, apabila nasabah menghadapi kesulitan ekonomi, solusi yang lebih bijak dan berdasarkan kemaslahatan (seperti restrukturisasi utang) seharusnya dipertimbangkan.

Prinsip transparansi dalam akad syariah juga penting. Akad murabahah harus dilakukan secara jelas, termasuk dalam hal mekanisme denda atau sanksi jika terjadi wanprestasi. Dalam kasus ini, jika kedua belah pihak telah menyepakati adanya denda dalam akad, maka denda tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan harus dijelaskan secara transparan kepada nasabah.

Fatwa DSN-MUI No. 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Murabahah: Fatwa ini mengatur tentang bagaimana akad murabahah harus dilakukan sesuai prinsip syariah. Denda pada dasarnya diperbolehkan dalam akad murabahah jika nasabah lalai, tetapi hasil denda tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh bank sebagai keuntungan, melainkan untuk amal atau kemaslahatan umum. Dengan demikian, penerapan denda dalam kasus ini harus sesuai dengan prinsip syariah yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI.

Dalam fatwa DSN-MUI memberikan panduan tentang bagaimana denda dapat diterapkan. Denda hanya diperbolehkan jika nasabah lalai atau sengaja menunda pembayaran tanpa alasan yang sah. Denda tidak boleh menjadi sumber keuntungan bagi bank syariah, melainkan harus dialokasikan untuk amal.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa aturan ini menjadi landasan bagi operasional bank syariah di Indonesia, termasuk dalam hal penyelesaian sengketa yang melibatkan akad-akad syariah seperti murabahah. Namun, salah satu kelemahan yang terungkap dalam kasus ini adalah tidak adanya ketentuan eksplisit mengenai denda atau ganti rugi dalam akad murabahah, sehingga hal ini menjadi area abu-abu yang harus diatur lebih lanjut.

Pasal 1338 KUH Perdata: Pasal ini menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam konteks kasus ini, akad murabahah adalah kontrak yang sah, dan jika salah satu pihak melanggar, maka ada konsekuensi hukum yang harus diterima sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak tersebut.

Pasal 1243 KUHPerdata: Mengatur tentang wanprestasi, di mana seseorang yang tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian dapat dikenai sanksi atau ganti rugi. Penerapan ganti rugi dalam kasus ini sesuai dengan prinsip wanprestasi dalam hukum perdata, meskipun dalam hukum ekonomi syariah penerapan denda atau ganti rugi harus memenuhi kaidah-kaidah syariah.

Jadi dapat disimpulkan, dalam kasus wanprestasi pada akad murabahah di Bank Syariah, terdapat beberapa norma, kaidah, dan aturan yang berlaku dalam hukum ekonomi syariah. Norma keadilan, kemaslahatan, dan transparansi harus dijaga dalam akad-akad syariah. Kaidah fikih seperti kewajiban mematuhi akad dan larangan melakukan tindakan merugikan harus dijadikan landasan dalam penyelesaian sengketa. Aturan perbankan syariah yang ada, termasuk fatwa DSN-MUI dan perlu diterapkan dengan hati-hati agar penerapan denda dan ganti rugi sesuai dengan prinsip syariah serta hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Analisis Kasus Wanprestasi pada Akad Murabahah di Bank Syariah pada Tahun 2014 dalam Perspektif Aliran Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence

Positivisme hukum menekankan bahwa hukum adalah aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang dan harus ditaati, terlepas dari moralitas atau kondisi sosial. Dalam konteks wanprestasi pada akad murabahah di Bank Syariah, aliran ini akan menyoroti aspek hukum positif, yaitu aturan yang telah ditetapkan dalam kontrak dan regulasi perbankan syariah yang berlaku. 

Kasus wanprestasi ini akan dianalisis berdasarkan aturan yang tertulis dalam akad murabahah, hukum perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur tentang akad dan penyelesaian sengketa dalam sistem perbankan syariah. Segala pelanggaran yang dilakukan oleh pihak debitur (nasabah) terhadap ketentuan yang sudah disepakati dalam akad murabahah, seperti keterlambatan pembayaran atau tidak memenuhi kewajiban, dianggap sebagai wanprestasi dan dikenakan sanksi sesuai perjanjian.

Aliran positivisme lebih fokus pada kepastian hukum dan kepatuhan pada aturan yang sudah dibuat. Maka, apabila dalam kasus wanprestasi terdapat ketidaksesuaian antara perilaku nasabah dengan ketentuan dalam akad murabahah, sanksi yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan yang tertulis tanpa memperhatikan konteks sosial atau keadaan ekonomi nasabah.

Penyelesaian wanprestasi pada akad murabahah dilakukan dengan mekanisme yang telah diatur, seperti melalui pengadilan atau lembaga arbitrase syariah sesuai peraturan yang berlaku. Fokus dari pendekatan positivisme adalah memastikan hukum berjalan sesuai dengan peraturan yang ada tanpa memperhitungkan faktor luar.

Sociological Jurisprudence adalah aliran yang melihat hukum sebagai produk dari masyarakat, dan hukum harus mempertimbangkan aspek sosial dalam penerapannya. Dalam analisis kasus wanprestasi pada akad murabahah di Bank Syariah, aliran ini akan lebih memperhatikan kondisi sosial-ekonomi nasabah serta dampaknya terhadap masyarakat secara umum.

Aliran ini akan menyoroti hubungan antara hukum dan kondisi sosial nasabah. Jika wanprestasi terjadi, maka penyebab seperti situasi ekonomi nasabah, pandemi, atau bencana alam yang memengaruhi kemampuan pembayaran harus diperhitungkan. Akad murabahah dalam pandangan Sociological Jurisprudence bukan hanya kontrak formal, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan sosial dan ekonomi para pihak. Bank Syariah mungkin harus menawarkan jalan keluar yang lebih adil bagi nasabah yang mengalami kesulitan ekonomi tanpa merusak prinsip keadilan sosial.

Aliran ini menekankan pentingnya keadilan substantif, yang berarti bahwa penerapan sanksi atau penyelesaian wanprestasi harus mempertimbangkan kondisi sosial nasabah. Misalnya, jika nasabah mengalami kesulitan keuangan yang tidak disengaja, Bank Syariah mungkin perlu menyesuaikan ketentuan akad atau menawarkan skema restrukturisasi untuk meringankan beban nasabah. Pendekatan ini mungkin mendorong penyelesaian sengketa melalui musyawarah atau mediasi, di mana solusi yang dicapai tidak hanya berdasarkan aturan hukum tertulis tetapi juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Tujuannya adalah mencapai keadilan sosial yang seimbang, tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap kontrak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif positivisme hukum, kasus wanprestasi pada akad murabahah akan dianalisis secara kaku berdasarkan aturan tertulis tanpa mempertimbangkan faktor luar, sedangkan dalam pendekatan Sociological Jurisprudence, hukum dipandang sebagai produk masyarakat yang harus memperhitungkan kondisi sosial-ekonomi nasabah dan mencari solusi yang lebih berkeadilan. Keduanya memiliki cara pandang yang berbeda, di mana positivisme menekankan kepastian hukum, sementara Sociological Jurisprudence menekankan keadilan sosial dalam penerapan hukum

#uinsaidsurakarta2024 #muhammadjulijanto #prodihesfasyauinsaidsurakarta2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun