Media sosial, menurut Sam Decker adalah konten dan interaksi digital yang di buat oleh dan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Adanya media sosial diharapkan banyak membawa manfaat dalam kehidupan utamanya dalam bidang komunikasi. Dengan adanya media sosial pastilah membawa dampak positif seperti mempercepat penyampaian informasi dan dampak negatif seperti membuat rongga antara warga masyarakat yang cenderung dekat secara fisik karena lebih mengutamakan komunikasi melalui media sosial.
Seiring dengan berjalannya waktu, teknologipun berkembang pesat. Dengan begitu, banyak pembaharuan-pembaharuan yang muncul dan semakin mempermudah komunikasi antar individu maupun kelompok. Contohnya saja media sosial, dahulu hanya beberapa yang terkenal seperti Facebook namun setelah itu banyak bermunculan media sosial lain seperti Line, Whats App, Path, dan Instagram. Tak hanya itu, ditiap media sosialnyapun selalu terdapat pembaharuan sistem seperti Facebook yang awalnya hanya digunakan untuk chatting kini dapat digunakan untuk Live Streaming. Banyak orang menggunakan media sosial dengan tujuan mengekspresikan dan mengungkapkan perasaan batinnya. Namun ada juga yang berbagi kisah inspiratif yang memotivasi orang lain.
Perkembangan media sosial tentunya di dukung oleh aksesnya yang semakin mudah untuk para penggunanya. Seperti halnya Facebook yang dapat pembaharuan sistem contohnya, akses media sosial yang dapat dijalankan tanpa menggunakan komputer saja namun juga menggunakan Smartphone.Dan lagi dewasa ini, gadget menjadi kebutuhan primer bukan lagi menjadi barang mewah yang merupakan kebutuhan tersier. Hal itu dikarenakan banyaknya tuntutan zaman yang memaksa penggunaan gadget dalam beberapa waktu. Gadget sendiri memiliki fitur-fitur yang menyuguhkan berbagai informasi tentang dunia di dalamnya.
Menurut berita dalam Liputan 6, pengguna internet di Indonesia pertahun 2016 mencapai 132,7 juta jiwa, dengan pengguna terbanyak sebesar 80 persen merupakan usia muda rentang 20-24 tahun dan 25-29 tahun yang tercatat oleh CNN pada 24 Oktober 2016. Angka tersebut relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengguna internet kelompok usia lainnya, menurut penelitian terbaru yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Dengan banyaknya jumlah pengguna internet, diungkapkan juga oleh Liputan 6 bahwa media sosial masyarakat Indonesia terfaforit adalah Facebook yang menduduki peringkat pertama dengan presentasi sebesar 55 persen dengan jumlah pengguna berkisa 71,6 juta jiwa. Persentase-persentase tersebut harusnya dapat membuat penggunanya bijak dalam pemakaiannya.
Dalam penggunaan media sosial kita sebagai netizen diharapkan mampu memilah informasi yang benar dan teruji serta informasi yang belum diketahui asalnya. Sebab dengan adanya media sosial yang semakin bebas, informasi yang masuk cenderung tidak terkontrol dan langsung diterima oleh masyarakat tanpa melalui proses filterisasi. Dan lagi tanpa mengetahui kebenarannya masyarakat langsung menyebarkan informasi yang di dapat dengan dalih membantu.
Budaya langsung copy-paste itulah yang mendarah daging dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan cenderung dapat memecah belah adanya persatuan jika saja yang disebarkan merupakan suatu ketidakbenaran tentang suatu keadaan. Contohnya saja kasus Ahok yang dikecam sebagai penista agama, berawal dari salah satu sumber yang mana telah melakukan editing terhadap video pidato yang dilakukan oleh Ahok di salah satu wilayah Indonesia yang di nilai mendustakan salah satu agama. Hal tersebut harusnya menjadi cerminan untuk semua masyarakat Indonesia agar dalam melakukan penyebaran informasi hendaknya di konfirmasi terlebih dahulu mengenai kebenarannya. Adanya himbauan untuk mengonfirmasi ulang berita-berita yang ada di masyarakat bukan di lakukan untuk membatasi hak masyarakat menyebarkan informasi, namun lebih bijak lagi jika menyebarkan informasi yang sudah jelas sumbernya.
Di zaman yang sudah maju seperti sekarang, kebebasan menyampaikan pendapat sudah sangat dihargai mengingatkan akan adanya zaman dimana kebebasan dicekal. Ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto, banyak masyarakat yang cenderung memilih bungkam dan memendam apa yang ingin disuarakan. Namun hal ini sejalan dengan salah satu peristiwa di Amerika Serikat dimana rakyat bebas mengakses media sosial namun tak sebebas yang terlihat. Mengapa seperti itu? Karena seperti yang diungkapkan oleh Edward Joseph Snowden, yang merupakan mantan kontraktor teknik Amerika Serikat dan karyawan CIA yang menjadi kontraktor NSA, bahwa NSA mengantongi ijin dari pengadilan Amerika Serikat yang memperbolehkan adanya penyadapan pembicaraan seluruh warga AS tanpa terkecuali melalui telepon genggam. Hal itu di ketahui oleh seluruh warga melalui dokumen rahasia yang di bocorkan oleh Edward Snowden. Adanya penyadapan ini di peruntukkan mengawasi masyarakat agar tidak melakukan terror yang berhubungan dengan jaringan teroris alkaidah. Tak hanya itu Pemerintah Amerika Serikat juga mengeluarkan Patriot Act yang mengatur penyadapan dan pengawasan bagi orang-orang yang terindikasi terlibat jaringan terorisme baik di luar maupun di dalam negeri.
Walaupun pada awalnya tujuan adanya aksi penyadapan ini baik, namun semakin berkembangnya zaman penggunaan izin penyadapan ini merambah pada aksi yang dilakukan bukan hanya untuk mengawasi target yang terindikasi aksi teror, namun juga masyarakat umum. Pihak NSA (National Security Agency) mengumpulkan data masyarakat seperti siapa menelpon siapa, kapan, dan dimana seperti yang di ungkapkan Chanel Kok Bisa. Data yang berhasil di kumpulkan, di simpan berupa metadata. Pada dasarnya jalannya program ini di lakukan tanpa adanya persetuhuan dari masyarakat yang bersangkutan.
Dan lagi tak hanya melakukan penyadapan, NSApun meminta kerja sama perusahaan- perusahaan ternama seperti Google dan Microsoft untuk turut melancarkan aksinya tersebut dengan memberikan riwayat akses internet dari para penggunanya. Selain itu, NSA juga meminta adanya kerja sama dengan salah satu perusahaan ternama yang pernah di pimpin oleh Steve Jobs, Apple untuk membuat suatu aplikasi yang dapat merekam lalu lintas penggunanya yang terindikasi teroris melalui pencatatan kode enkripsi. Karena di rasa hal itu dapat di salahgunakan pemakaiannya, pihak Apple akhirnya menolak untuk melakukannya sebab memberikan informasi itu sama saja melanggar privasi pengguna Apple sendiri.
Faktanya seperti yang di ungkapkan oleh Chanel Kok Bisa data-data yang dikumpulkan oleh NSA tidak serta merta dapat menangkap lebih banyak pelaku terorisme atau mengurangi aksi terorisme, oleh karena itu data yang ada dialih fungsikan untuk memantau adanya masyarakat yang berasal dari Negara Arab atau negara-negara yang bermayoritas penduduk muslim. Bahkan di Indonesia ketika Pemilihan Gubernur Jakarta pernah beredar berita bahwa Presiden Keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan percakapan pribadi dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin telah di sadap oleh pihak Basuki Tjahaya Purnama. Dengan pengetahuan bahwa adanya penyadapan tanpa izin merupakan aksi yang illegal, kemudian SBY melaporkan Ahok kepada pihak yang berwajib dan meminta agar masalah yang terjadi segera di usut tuntas.
Dengan adanya perkembangan zaman yang menuntut warganya untuk dapat melakukan informasi secara digital melalui ponsel pintar atau komputer memang banyak menguntungkan namun disisi lain dapat lebih membuat keselamatan terancam karena sewaktu-waktu dapat dilakukan aksi penyadapan. Hal tersebut dikarenakan mudahnya akses untuk mendapatkan alat untuk menyadap telepon pengguna tanpa diketahui.
Di sisi lain pihak Jerman dan Inggris seperti yang di ungkapkan Chanel Kok Bisa mengatakan bahwa telah menciptakan suatu aplikasi yang dapat meretas ponsel penggunanya sewaktu-waktu jika di inginkan. Aplikasi tersebut dapat menyalakan kamera dan mengaktifkan perekam suara untuk melakukan pengambilan data tanpa di ketahui oleh sang pengguna sama sekali yang dikontrol oleh pohak perusahaan. Penggunaan State Surveillance oleh negara memang menguntungkan jika tepat penggunaannya dalam mengindikasikan aksi teror namun jika dalam penggunaannya di salahgunakan juga dapat mengganggu zona privasi pengguna. Adanya State Surveillance dapat membatasi hak kita sebagai manusia yang di negara Indonesia sendiri sudah di atur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Pasal 28 E ayat 3 yang isinya adalah “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Praktik State Surveillance di beberapa negara juga sudah ada contohnya saja di Turki, State Surveillance di gunakan untuk memenjarakan orang-orang mengungkapkan kritik kepada pemerintahan. Walaupun seperti yang masyarakat Indonesia sendiri tahu bahwa di Indonesia juga pernah mengalami masa-masa State Surveillance selama 32 tahun yang di lakukan oleh Presiden Soeharto untuk menertibkan masyarakat Indonesia, namun jika di tilik sedikit lebih dekat, hal ini sama dengan penerapan State Surveillance di Turki. Di masa sekarang kebebasan pers di bebaskan namun tetap pada koridornya. Kebebasanpun tak hanya kebebasan dalam dunia nyata namun juga kebebasan dalam menggunakan media sosial pribadinya.
Kebebasan dalam melakukan hak, di jamin dan di atur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang mungkin sebagian masyarakat Indonesia mengetahuinya dengan sebutan UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 yang kini telah di perbaharui menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 yang contohnya dalam Pasal 26 di katakana bahwa “Dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy right)” dalam pasal 26 di ungkapkan juga bahwa setiap orang yang dilanggar haknya dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan. Sesuai pula dengan perubahan pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 menjadu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik harus menghapus informasi yang tidak relevan di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan.
Seperti yang diketahui bahwa media sosial merupakan hak pribadi individu namun dalam penggunaannya harus pula berpedoman pada aturan-aturan yang berlaku. Jangan sampai hal-hal yang diposting menimbulkan ketidaknyamanan terhadap orang lain entah itu berupa berita bohong, fitnah, dan lain-lain. Sudah banyak kasus pelanggaran UU ITE yang menjerat pengguna media sosial tidak bijaksana yang dapat kita lihat. Alangkah baik jika menghindari hal-hal yang menjurus pada pelanggaran UU ITE. Karena lebih baik mengcegah terjadinya kasus daripada menangani kasus yang sebenarnya masih bias terhindarkan. Oleh sebab itu peran lembaga masyarakat untuk mensosialisasikan UU ITE ini menjadi sangat penting. Lantas bukan hanya tugas lembaga masyarakat, namun juga tugas setiap individu untuk mengetahui adanya pembaharuan-pembaharuan peraturan yang ada di Negara Indonesia ini baik itu melalui media cetak maupun media online seperti yang sekarang ini banyak di minati, atau bahkan media massa lainnya.
Daftar Pustaka
http://www.trigonalmedia.com/2015/08/pengertian-media-sosial-menurut-para.html diakses tanggal 1 juni 2017 pukul 12.56 WIB
http://nasional.kompas.com/read/2017/02/02/13310711/sby.minta.dugaan.penyadapan.diusut.ini.tanggapan.polri diakses pada 1 juni 2017 pukul 13.23 WIB
https://www.youtube.com/watch?v=NcuKJt04U-0 diakses pada 29 Mei 2017 pukul 08.00 WIB
http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161024161722-185-167570/pengguna-internet-di-indonesia-didominasi-anak-muda/ diakses pada 1 juni 2017 pukul 13. 42 WIB
http://tekno.liputan6.com/read/2634027/3-media-sosial-terfavorit-pengguna-internet-indonesia diakses pada 1 Juni 2017 pukul 13.42 WIB
http://internasional.kompas.com/read/2016/08/08/11490301/bagaimana.nasib.edward.snowden.apakah.ia.sudah.mati. Diakses pada 1 Juni 2017 pukul 21.18 WIB
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H