Door! Door! Terdengar dua kali suara tembakan. Target terkapar, sasaran tepat di kepala dan jantung target, tidak bergeser sedikit pun. Mereka mendekat dan melihat si target, alangkah sangat terkejutnya Yuda dan teman-temannya ternyata itu bukanlah si target yang telah mereka incar selama beberapa bulan terakhir ini. Kecorabohan yang merenggut nyawa, biadab! Tapi di sisi lain ini diluarrencana. Darah dingin mengaliri sekujur tubuh Yuda, itu adalah calon mertuanya. Oh tidaak! batinnya menjerit.
Beberapa hari setelah meninggalnya Ayah Putroe, suasana sedih masih meliputi Putroe, keluarganya dan seluruh penduduk desa. Ayah Putroe adalah penduduk pertama yang merasakan ganasnya peluru Tentara. Dan seperti kisah yang telah tersebar, ayah Putroe korban salah sasaran yang membuat geram warga. Tidak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi saat itu dan siapa yang telah melakukan kekonyolan yang tidak dapat di maafkan seperti ini.Yuda, si pria yang akan menjadi menantunyalah yang memuntahkan timah panas tersebut (hanya Tuhan dan mereka yang tahu).
Rasa benci penduduk kembali tersemai. Benci dengan kecerobohan yang seharusnya tidak terjadi. Tapi tidak pada Putroe. Sangat sulit di pahami hati seorang gadis ceria ini, seperti hati malaikat yang begitu suci tidak sedikitpun terpercik amarah apalagi api kebencian. Ini bukan hanya karena rasa cintanya kepada Yuda yang hampir berujung pada pelaminan itu. Oh Tuhan, akankah dia menjadi jodohku, pinta Putroe setiap doanya. Hari terus berlalu, semua penduduk juga tahu bahwa tak lama lagi keluarga Yuda akan datang ke desanya untuk meminang Putroe. Sebuah realita yang tak akan bisa diterima masyarakat, jika mengetahui ternyata Yuda adalah pembunuh yang akan meminang anak dari orang tua yang telah direnggut nyawanya. Yuda bukan manusia munafik dengan segala yang terjadi. Dia telah menceritakan apa sebenarnya yang terjadi pada Bapak Putroe calon istrinya itu. Rasa cinta dan saling percaya telah menguatkan hati-hati mereka untuk terus melanjutkan cita-cita mulia itu. ‘Kun fayakun’ tak ada yang bisa menahan, tak ada yang bisa mencegah. Semua berjalan sesuai kehendak-Nya.
Penduduk berlarian, jeritan histeris menggema. Anak – anak berlarian tak tentu arah. Minggu yang mencekam. Pertempuran kembali terjadi. Suara tembakan semakin ramai di pagi yang teduh itu. Suara tembakan seakan mengepung markas tentara yang dikelilingi bukit rendah. Cahaya – cahaya peluru berterbangan terihat jelas. Saling berbalas dan sesekali suara dentuman keras menghujam. Sudah dua jam lebih pertempuran belum berakhir. Tak ada penduduk yang berani beranjak keluar dari tempat persembunyiannya.
Putroe berdiam dirumahnya. Gemetar. Takut. Dan bimbang. Yuda, calon suaminya, bagaimanakha nasibnya. Tak ada yang tahu sebelum pertempuran usai. Dan sejenak kemudian terrasa hening. Tak ada suara tembakan lagi yang terdengar hanya suara – suara langkah dan nafas yang terengah – engah berlarian. Pertempuran selesai, pikir Putroe. Seseorang berbaju hitam lengkap dengan senjata berlari menuju rumah Ranti. Terburu – buru dan seakan membawa pesan penting.
“Yuda tewas Putroe” Kata lelaki itu setibanya di depan Putroe. Hening, senyap dan semua menjadi gelap. Putroe ambruk di pangkuan ibunya.
Langkah, rezeki, peutumun dan maut semua sudah di atur oleh-Nya. Bisik Ibu Putroe dalam hatinya.
TAMAT
Penulis : Fauziah Humaira &Mas Mus - Nomor peserta: 93
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H