Keempat, kemitraan dan kolaborasi. Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam mengatasi masalah tersebut dengan cara mengembangkan program-program yang inovatif, pertukaran pengetahuan dan berbagi sumber daya. Dalam hal ini pemerintah berperan dalam merumuskan kebijakan, mengoordinasi program serta menyediakan pendanaan dalam memerangi stunting sedangkan sektor swasta berupa perusahan atau organisasi bisnis  berperan dalam pendanaan tambahan, teknologi serta pengetahuan dalam pengembangan gizi seimbang serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan dalam mengidentifikasi stunting dengan melibatkan masyarakat secara langsung dan memberikan dukungan bagi keluarga yang membutuhkan.
Kelima, monitoring dan evaluasi. Dengan memiliki sistem pemantauan yang efektif untuk mengukur dampak dari program yang sudah dijalankan. Data dan informasi akurat yang didapatkan akan sangat membantu dalam mengidentifikasi seberapa berhasil dan gagal upaya yang telah dilakukan serta memungkinkan penyesuaian yag diperlukan. Hal ini mencakup beberapa tahap yaitu pengumpulan data, indikator dan target yang jelas, sistem pemantauan, evaluasi dampak serta pembelajaran dan perbaikan.
Ironi gizi buruk di Indonesia menggambarkan kontras antara sumber daya alam yang melimpah dan tingginya angka gizi buruk. Untuk mengatasi masalah ini, tentu dibutuhkan komitmen dan kerja sama yang kuat dari semua pihak yang terkait. Dengan langkah-langkah yang tepat seperti program subsidi pangan, edukasi pentingnya gizi, peningkatan infrastruktur, kemitraan dan kolaborasi serta monitoring yang efektif, Indonesia dapat mengatasi tantangan gizi buruk dan mencapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Oleh:
Fauzia L Tokan dan Iyan Sofyan
(Mahasiswi dan Dosen PG PAUD FKIP Universitas Ahmad Dahlan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H