Stunting atau yang lebih dikenal dengan gizi buruk menjadi salah satu masalah serius yang dihadapi dunia saat ini,termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam melimpah serta pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan dalam beberapa dekade ini, namun angka gizi buruk tetap tinggi. Fenomena ini menunjukkan adanya ironi yang sangat memprihatinkan terkait dengan gizi dan kesehatan di Indonesia. Menurut data yang didapat penulis, berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi bayi stunting di Indonesia mencapai 21,6 %  dari  keseluruhan jumlah bayi yakni 1,6 juta, sehingga hampir 400 ribu bayi yang terkena stunting di tahun 2022  dan diperkirakan 14 % pada tahun 2024 (Sumber: Kemenkes, 2022).
 Stunting merupakan gangguan pada tumbuh kembang anak yang terjadi karena kekurangan gizi yang menyebabkan keterlambatan pertumbuhan serta tinggi anak berada di bawah rata-rata teman seusianya. Beberapa penyebab gizi buruk di Indonesia yang pertama, yaitu kemiskinan. Hal ini menjadi penyebab utama gizi buruk karena banyak masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan yang membuat mereka tidak mampu mendapatkan makanan yang bergizi, sanitasi yang baik serta layanan kesehatan. Tidak hanya itu, kemiskinan juga mempengaruhi akses pendidikan tentang gizi yang baik bagi suatu keluarga. Kurangnya pengetahuan mengenai gizi sehat dan seimbang dapat menyebabkan kebiasaan makan tanpa peduli terhadap kandungan gizi suatu makanan.
Penyebab yang kedua yakni keterbatasan akses, misalnya pedesaan yang terpencil yang menyebabkan akses untuk mendapatkan makanan yang bergizi sangat terbatas karena jarak yang jauh, infrastruktur yang buruk serta keterbatasan ekonomi membuat mereka makan apa adanya tanpa memperhatikan kandungan gizi dari makanan yang dimakan. Penyebab yang terakhir yaitu ketidaktahuan. Banyak masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih minim pengetahuan mengenai pentingnya gizi seimbang dan pola makan yang sehat dan teratur menjadi salah satu hambatan dalam mengatasi masalah gizi buruk. Masyarakat belum sepenuhnya paham tentang nilai gizi dan dampak buruk pola makan yang tidak seimbang.
Dampak yang disebabkan oleh gizi buruk tentu sangat merugikan, misalnya berbagai masalah kesehatan diantaranya menghambat pertumbuhan, melemahnya sistem kekebalan tubuh, infeksi serta masalah perkembangan mental serta rendahnya produktivitas yakni cenderung memiliki konsentrasi dan daya ingat yang rendah, tentu hal ini akan mempengaruhi proses mereka dalam belajar yang akan berdampak negatif pada produktivitas dan perkembangan ekonomi masa depan. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya peluang mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak di masa depan.
 Mengatasi masalah gizi buruk bukan hanya tugas pemerintah ataupun individu, tapi memerlukan kerja sama yang kompleks dari semua pihak yang terkait, namun tentu hal itu tidak mudah karena pasti ada tantangan yang harus dihadapi, misalnya ketimpangan regional yang merupakan tantangan terbesar dalam hal akses makanan bergizi, daerah-daerah terpencil yang terisolasi kurang mendapatkan perhatian dalam program pemerintah. Oleh karena itu perlu dilakukan pemerataan program pemerintah untuk seluruh daerah, khususnya daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
Pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang gizi yang seimbang menjadi salah satu tantangan yang membutuhkan upaya untuk memberikan informasi dan pendidikan mengenai pentingnya gizi seimbang. Akses ke sumber daya juga merupakan tantangan yang sampai saat ini masih belum menemukan jalan keluar, karena hal ini membutuhkan investasi yang besar dalam akses berupa infrastruktur menuju daerah yang sulit dijangkau, misalnya pasokan air bersih, sanitasi yang layak serta akses menuju fasilitas kesehatan.
Berikut ini penulis menyajikan beberapa solusi dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan gizi buruk:
 Pertama, program Subsidi Pangan. Pemerintah memperluas subsidi pangan untuk memastikan terjangkaunya akses makanan bagi keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan memperhatikan kualitas gizi makanan yang akan disubsidi. Dengan adanya program ini, harga bahan pokok akan lebih terjangkau dan mungkin bisa juga gratis diberikan kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu ataupun rentan terhadap masalah gizi. Hal terpenting untuk kesuksesan program ini dengan memastikan makanan yang disubsidi mengandung nutrisi penting dalam proses  perkembangan anak, misalnya karbohidrat, protein, vitamin, asam folat, yodium, zat besi dan lain-lain.
Kedua, edukasi dan sosialisasi mengenai gizi. Pendidikan gizi harus dikenalkan secara menyeluruh di sekolah, komunitas maupun masyarakat secara luas dapat membantu meningkatkan kesadaran akan perlu dan pentingnya gizi seimbang dan pola makan yang sehat. Dengan adanya program ini, masyarakat akan mulai sadar akan pentinganya gizi yang baik dalam meniadakan stunting. Hal yang perlu digaris bawahi dalam program ini adalah pentingnya nutrisi selama periode 1.000 hari awal kehidupan, sejak kehamilan hingga anak berusia 2 tahun serta pemberian ASI (Air Susu Ibu) eksklusif.
Ketiga, peningkatan infrastruktur. Bisa dalam bentuk peningkatan investasi pembangunan infrastruktur seperti jalan, air bersih, sanitasi, serta fasilitas kesehatan di daerah terpencil, hal ini akan membantu memudahkan akses untuk masyarakat dalam menjangkau makanan yang bergizi dan layanan kesehatan. Infrastruktur dalam sektor kesehatan dengan peralatan yang memadai sangat dibutuhkan terutama di daerah terpencil guna mendeteksi dan mengobati permasalahan tentang gizi pada anak.
Infrastruktur air bersih dan sanitasi juga perlu ditingkatkan, hal ini bertujuan untuk mencegah penyakit seperti diare dan infeksi pada saluran pernapasan karena penulis menemukan beberapa kasus bahwa hal tersebut juga dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi yang mengganggu pertumbuhan anak karena infeksi berulang. Oleh karena itu air bersih yang terjangkau serta sanitasi yang baik dapat mengurangi risiko infeksi karena hal ini dapat mengundang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).