“Sudah Mamak bilang jangan pernah melawan orangtua! Kenapa kamu pangkas rambutmu sependek itu? Mau jadi laki-laki kamu?” Ucap Mak Eli dengan suara lantang.
“Aku sudah besar, Mak. Aku capek harus mengikuti aturan Mamak terus,” jawab Nita dengan ketus.
Mendengar perkataan Nita, hati Mak Eli makin perih, bagai tersayat-sayat. “Tuhan, dosa apa aku?” rintih Mak Eli lirih.
***
Ya, itu pertengkaran yang kesekian kalinya antara Mak Eli dan anak bungsunya. Sedari kecil, Nita merasa tak pernah bisa dekat dengan wanita yang telah melahirkannya. Ia merasa kalau Mak Eli hanya sayang dengan anak sulungnya, Mbak Ria kakak pertama Nita.
“Huuk huuuk” terdengar lirih Mak Eli sesenggukan.
“Nita, kau apakan lagi Mamak?” Tanya Mbak Ria kepada adiknya.
“Itu karna Mamak tak adil terhadapku. Mamak membebaskanmu untuk melakukan apa saja semaumu, untuk kuliah sesuai dengan minatmu, Mamak juga selalu memuji-muji kamu di depan semua orang yang ditemui, sedang aku motong rambut saja jadi masalah,” jawab Nita dengan berlalu.
“Sebenarnya aku anak kandung Mamak bukan, sih? Atau aku hanya anak pungut?” sambung Nita dengan teriakan dari dalam kamar seiring terdengar hempasan pintu kamar. “Braak.”
“Tok... tok... tok...” terdengar ketukan pintu dari luar.
“Masuk!” suruh Nita