Tidak dibayangkan betapa panasnya politik nasional seadainya bukan Banser yang melakukan pembakaran Bendera HTI. Â Tidak hanya demo berjilid-jilid. Â Bentrok fisik akan terjadi dimana-mana.
Pembekaraan Bendera HTI yang berlafalkan kalimat tauhid. Â Sublimasi konstilasi politik nasional menjelang Pilpres 2019. Akumulasi gesekan sejak Pilgub DKI 2017 lalu. Â Sedikit terkurangi dengan inseden pembakar Bendera saat perayaan hari santri di Garut 22 Oktober lalu.
Ya, Â memang sedikit menyita waktu. Namun, Â letupan efek dari kejadian itu. Â Mampu dikontrol. Â Sehingga efeknya tidak seberapa dahsyat. Â Ketimbang ledekan tersebut terjadi mendekati Pilpres mendatang.
Ledakan ini pertanda potensi konflik efek dari Pilpres mendatang. Memudahkan aparat keamanan meng-identifikasi. Â Sumber-sumber terjadinya ledakan.
Identifikasi tersebut, Â akan dibuatkan kanal-kanal. Tentu saja akan mengurangi ledakan sebenarnya. Apabila memang terjadi konflik efek dalam Pilpres. Â Dan tentunya, Â semua kubu dalam Pilpres tidak menghendaki meletusnya konflik.
Ini, Â berbeda apabila bukan Banser yang melakukan pembakaran. Â Melainkan kelompok, Â ormas, Â organ, Relawan ataupun anggota partai pendukung pasangan Jokowi-Kiai Ma'ruf. Â Yang bukan berbasis Islam. Maka bisa diprediksi stabilitas nasional akan tergangu.
Balasan kelompok yang mendukung pembakaran bendera Tauhid. Â Akan melakukan balasan. Tentu saja menjurus pada anarkhisme massa.
Pengemasaan isu pembakaran bendera tauhid ini, Â memiliki sentimen kuat. Â Terutama bagi kaum muslimin. Â Tidak ada tolerensi.
Materi kemasan tersebut, Â sama halnya dengan kasus Ahok di Jakarta. Â Sehingga mampu menciptakan demonstrasi ber-jilid. Â
Kenapa seperti itu? Â Karena Konstruksi alam bawah sadar masyarakat masih terjadi dikotomi kesenjangan. Â Antara muslim dan non muslim. Â Masyarakat pun hanya bisa menerima dengan pemahamaan yang dangkal. Â Tanpa ada proses konfermasi literatur.
Persepsi publik terbentuk dengan satu kata. Â Pokoknya, Â Ahok atau kelompok itu menista agama atau membakar bendera tauhid. Sehingga wajib diperangi.
Pada kasus pembakaran bendera ini, Â derasnya arus informasi. Â Tidak langsung ditelan masyarakat. Â Ada proses dialogis alam bawah sadar masyarakat. Â Karena tidak mungkin Banser tidak punya alasan yang kuat untuk membakar. Â Menginggat Banser adalah salah satu organ dibawah induk organisasi Nadhlatul Ulama. Tentu saja, Â memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat.
Memudahkan Identifikasi Aparat Keamanan
Bukan tidak ada reaksi. Â Dibeberapa daerah muncul demo protes. Tapi tidak dengan jumlah massa yang besar. Â Hanya dilakukan loyalis-loyalis kelompok tertentu. Bukan masyarakat awan seperti saat demo Ahok di Jakarta.
Banyak pertimbangan logis dimasyarakat untuk turut dalam aksi bela tauhid ini. Â Apalagi aparat kepolisian mengeluarkan rilis bahwa yang dibakar bukan bendera tauhid. Â Melainkan bendera HTI. Â Organisasi yang dinyatakan organisasi terlarang.
Dikotomi dimasyakarat tentang pembakaran bendera saat ini. Banser versus HTI. Â Banser dikesankan sebagai organisasi Islam penjaga toleransi. Dan berdasarkan Pancasila dan keutuhan NKRI. Â Sementara HTI dikesankan sebagai organisasi Islam yang terlarang. Â Dengan berasaskam khilafah yang bertentangan dengan Pancasila.
Kasus pembakaran bendera ini, Â memudahkan aparat keamanan. Â Mengetahui simpul, Â sumber dan jumlah kekuataan. Â Kelompok-kelompok yang akan pro dan kontra dalam Pilpres 2019 mendatang. Â Apabila terjadi gesekan.
Namun masyarakat Indonesia berharap. Â Pilpres ini akan berjalan aman. Â Siapapun yang terpilih nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H