Kemitraannya dengan usaha besar sebenarnya sudah dilindungi oleh Perpres No 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Selain itu, juga membuka kemungkinan diberikannya paket insentif dan subsidi langsung kepada beberapa bioskop independen perintis yang sudah berjalan sebagai apresiasi atas usaha mereka.
Kelima, menyiapkan paket ekonomi yang mendukung sektor hulu industri film, di mana sebagian besar perusahaan produksi film di Indonesia dilihat secara volume masuk kategori UKM. Pemberian insentif bagi film dengan syarat khusus seperti film dengan muatan budaya, kami nilai dapat menggairahkan produksi film budaya berkualitas. Pada waktu bersamaan, pemerintah diharapkan mereformasi beban pajak yang ditanggung oleh produser film Indonesia.
Saat ini untuk memproduksi satu film nasional, produser harus membayar empat jenis pajak dan berbagai macam pungutan yang dinilai memberatkan. Keenam, pemerintah perlu meningkatkan pembangunan infrastruktur pendidikan film untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, dengan cara mengembangkan sekolah film yang sudah ada maupun dengan membangun sekolah baru.
Sedangkan untuk jangka pendek, perlu ditingkatkan jumlah pendidikan singkat ke luar negeri untuk meningkatkan kualitas SDM yang ada. Selain itu, sangat diperlukan alih bahasa buku-buku ajar teknis film ke dalam bahasa Indonesia untuk mendukung pendidikan.
Pembukaan pasar ini ada pada momentum yang tepat untuk membangun industri film nasional yang sedang terpuruk. Namun begitu, langkah-langkah yang kami rekomendasikan perlu disiapkan bersama para pemangku kepentingan agar film nasional tidak lagi hanya menjadi penonton di negerinya sendiri.
Fauzan Zidni
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H