Belum lancarnya komunikasi lintas sektoral membuat para pengembang teknologi kesulitan ketika akan melakukan peningkatan dari produk laboratorium menuju tahap produksi. Kemenkes bergantung pada Kemenristekdikti  pada tahap riset dan pengembangan, yang bertugas mensupervisi dan memberi insentif kepada akademisi. Kemenkes juga bergantung kepada Kemenperin dalam pemenuhan bahan baku lokal. Selain itu, untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri, tugas bersama Kementerian Kesehatan, Kementrian Perdagangan dan Kementrian Perindustrian untuk meyakinkan pengguna agar lebih mengutamakan produk lokal.
Belum lagi jika melihat fakta posisi profesi dokter yang sangat kuat dan terorganisir dengan baik lewat IDI maupun asosiasi profesi spesialis. Sedangkan inovator alat kesehatan masih jalan masing-masing di universitas, tanpa ada organisasi yang menaunginya. Ketimpangan struktural ini berdampak pada lemahnya posisi tawar yang dimiliki oleh pengembang teknologi ketika berhadapan dengan profesi dokter yang sudah terbiasa dengan standar alat impor.
Apabila dipetakan, sebenarnya tidak terlalu banyak akademisi yang memiliki perhatian terhadap penelitian teknologi alat kesehatan. Beberapa diantaranya seperti, I Gede Wenten dari Teknik Kimia ITB, mengembangkan aplikasi membran pada mesin Hemodialisis, Gede Bayu Suparta dari Fisika UGM, mengembangkan teknologi radiografi digital, Warsito Purwo Taruno dari Fisika Medis UI mengembangkan alat terapi dan diagnostik kanker, Tati Mengko dari Teknik Biomedik ITB mengembangkan alat diagnostik kardiovaskular, dan Raldi Artono Koestoer dari Teknik Mesin UI mengembangkan inkubator bayi. Hampir semua ilmuan ini dalam tahap penelitiannya bergantung pada insentif riset dari Kemenristekdikti sebagai sumber pembiayaan.
Para peneliti inilah yang secara prioritas perlu dibina oleh pemerintah untuk meningkatkan kapasitas mereka terhadap akses pembiayaan diluar pemerintah, pengetahuan tentang praktik klinik yang baik dan perlu didorong untuk bekerjasama dengan profesi dokter dalam pengembangannya. Bagi para inventor, yang paling penting bukanlah kekayaan duniawi yang bisa didapat dari berhasilnya produk yang dipasarkan, tetapi apresiasi karena karya-karya yang ditemukan bisa digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan.
Insentif riset yang diberikan oleh Kemenristekdikti kepada para inventor ini harus dlihat sebagai investasi publik terhadap peningkatan daya saing bangsa. Sangat disayangkan apabila investasi tersebut hanya berakhir pada produk prototipe tanpa diberi kesempatan untuk bisa ikut bersaing di pasar karena kurang didukung oleh regulasi yang memadai dan keberpihakan pemerintah.
Kerjasama dan komunikasi yang baik antar pemerintah maupun dengan profesi dokter dan inventor tentunya akan menyisihkan paradoks yang selama ini ada dalam pengembangan alat kesesehatan. Karena saya percaya bahwa tidak ada tempat yang lebih membutuhkan dan lebih cocok untuk melakukan uji klinis terhadap teknologi yang ditemukan oleh Warsito dan pengembang teknologi kesehatan lain, selain tanah air tercinta, Indonesia.Â
note: tulisan versi pendek dimuat di Harian Republika 14 Maret 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H