Disaat orang-orang berhamburan, mengemis perlindungan dibalik perisai mistik. Setidaknya terjadi 7 kali kegagalan percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno, bukan dikarenakan ia bertilam mistik atau meminta bantuan dukun. Bahkan sang proklamator sendiri pun menampik jika Tuhan belum berkehendak ia mati, maka ia belum akan mati. Kesaktiannya bersemayam bersama rakyatnya, kurang lebih begitu karena hingga akhir hayatnya pun ia dilemahkan, karena terasing dari rakyatnya, sebagai tahanan politik yang dikekang oleh rezim Orde Baru.
Sama hal dengan koleganya, Bung Hatta. Keteladanan dan kesederhanaan dari seorang Hatta pun mestinya dijadikan cermin dalam berbuat dan berpikir, ketika orang menjadikan mistik sebagai opsi pencapaian yang tak kunjung berbuah, maka Hatta dengan keluguannya tidak memanfaatkan kekuasaan sebagai kesempatan, apalagi ajang membodohi sesama.
Selama hidupnya, Hatta tidak pernah memeras negara atau mengkultuskan dukun dan takhayul, sekalipun ia merasa dicekik karena tidak bisa membayar listrik dan iuran air PAM. Hingga akhir hayatnya, sepatu bally yang ia idam-idamkan dari iklan koran pun tak kunjung didapatinya, karena tabungannya selalu terkuras untuk kepentingan bersama—bukan untuk menaruh mahar kelewat tertipu perdukunan.
Selama ketakutan memperkedil pikiran sehat, nafsu memasung jiwa, maka selalu ada celah untuk praktik dan logika mistika; akan uang, harta, kekuatan, keamanan dan kehidupan semu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H