Pada tahun 2009 silam, tanah air kita digemparkan dengan fenomena Ponari si Anak Ajaib. Kehadirannya sebagai tabib atau klenik, disambut oleh animo masyarakat yang begitu antusias. Serentak, masyarakat Indonesia datang jauh hari – jauh tempat menaruh harapan kesembuhan akan segala penyakit.
Jika Ponari mengangkat sisi takhayul kebendaan guna penyembuhan, maka ritual-ritual dan perdukunan Eyang Subur hingga Aa Gatot Brajamusti yang menuai pemberitaan media massa hadir sebagai cerita fenomena mistik negeri yang tak kunjung padam — walau akhirnya dijatuhkan oleh kontra-narasi para pengikutnya sendiri.
Kasus atau bahkan fenomena tersebut terbilang hanya sebagian kecil dari cerita mistik yang sempat mengegerkan ranah pertelevisian Indonesia, disamping mewabahnya antek-antek perdukunan hingga yang sifatnya radikal dalam sehari-hari seperti ramalan-ramalan ataupun sesembahan tak bertuan.
Selain doktrinasi dari generasi atau angkatan terdahulu, tentunya — Logika mistika lahir karena tidak memilikinya konsepsi dalam cara berpikir— sebagai suatu pertimbangan logis dan pikiran yang sehat. Sehingga menumpu pada daya sinkretis yang tinggi, menggabungkan dua unsur secara bersamaan tanpa tumpang tindih, selama tidak mengganggu jiwa. Disaat satu kakinya menapakkan di zaman modern ini —satu kaki lainnya terbelenggu dalam kepercayaan animisme ala feodalis-tradisional.
Sikap dan cara berpikir bangsa Indonesia yang masih sulit berpikir mandiri inilah, yang disampaikan oleh seorang Mochtar Lubis dalam ceramah panjangnya di Taman Ismail Marzuki pada taun 1977, perihal kebudayaan, jati diri dan karakter Manusia Indonesia — pengkultusan takhayul sebagai satu dari enam karakter umum Manusia Indonesia — walau sekadar pengamatan subjektif, ataupun peng-generalisasi-an secara kasar, namun cukup kritis dan tajam dengan apa yang terjadi pada masa-nya, dan masa saya berdiri disini.
Bencana Pemikiran ; Pra-kemerdekaan dan Hari ini.
Rasa keprihatinan pun pernah muncul dari seorang founding father yang dikriminalisasi bangsanya sendiri — Tan Malaka — ketika melihat rakyat era pra-kemerdekaan dibelenggu logika mistika, yang diyakininya sebagai hambatan dalam kemajuan berpikir. Pemikirannya tidak sekadar mendestruksi kolonialis, lewat Madilognya yang sebagai representasi pemikirannya — yang kerap dijadikan buku terlarang dan target sweeping Ormas garis keras —menuntun rakyat Indonesia keluar dari pemikiran yang serba keterbelakangan; pengkultusan logika mistika, dan mulai mengedepankan cara berpikir rasional.
Tan menampar dan membangunkan kesadaran orang-orang yang dibunuh pikirannya oleh kaum feodalis-tradisional dan kolonialis, bahwa untuk meraih kemerdekaan Negara yang sesungguhnya diperlukan kemerdekaan dalam berpikir terlebih dahulu.
Begitu 71 tahun merdeka, mengukuhkan diri dari para binatang yang menjajah dan menjarah sekalipun, tidak menjamin pemikiran bangsanya benar-benar bebas dan merdeka. Bagi kita yang baru adalah yang lama, karenanya hari ini adalah cerita kemarin yang mengalir terombang ambing menjauh dari muara henti.
Berbagai awak media menyebutkan sekitar 10.000 santri lebih, dikaitkan dalam praktik dan logika mistik. Dengan ketidaktahuan, minim infomasi, dibekali nafsu dan dibuai harta, mereka terjerumus dalam kesesatan terselebung, yang oleh sang Sri Raja Prabu Probolinggo dijadikan ajang guna memperkaya diri — dengan alih-alih memiliki “kesaktian ” menggandakan uang dan memunculkan benda berharga, yang dikenal media dan semua kalangan sebagai Dimas Kanjeng Taat Pribadi.
Angka 10.000 jiwa lebih bukan perkara sedikit, terlebih diantaranya terdapat sederet pengusaha dan intelektuil. Meyakini sebagai “karomah” dari Tuhan dan menyetarakan dengan Nabi Sulaiman, Marwah Daud — seorang mantan petinggi negeri— praktis dengan gelar menterengnya— pun menjadikan “sang kanjeng” sebagai sesembahannya. Sekaligus mematahkan asumsi rakyat proletar sebagai kelas sosial bawah yang kerap dikambing hitamkan perihal mistik. Bahkan sikapnya yang tak segan mengundurkan diri dari MUI, demi membela ‘sang kanjeng” menjadi sorotan ganda yang memojokan dirinya sendiri.