(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan, (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
         Pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden menurut penulis masih sangat relevan, hal ini dikarenakan hak kebebasan berpendapat bukan merupakan suatu hak yang absolut atau mutlak. Memang sudah sejatinya kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh konstitusi dalam Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F UUD NKRI 1944, serta Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Namun perlu diingat dalam Pasal 29 ayat (2) DUHAM menyatakan : " Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis ". Hak menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi merupakan hak yang sangat fundamental di negara yang mengakui suatu hak asasi, akan tetapi perlu kita ingat bahwa negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi 'kemanusiaan yang adil dan beradab', dalam hal ini maka sudah sepatutnya warga negara Indonesia merupakan warga negara yang berakhlak sopan dan santun, serta berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur.
              Perihal pembatalan Pasal 134 KUHP, Pasal 136 bis KUHP, dan Pasal 137 KUHP yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.013/022/PUU-IV/2006 memiliki konsepsi yang berbeda dengan RKUHP 2019. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan delik biasa (gewone delicten), sedangkan dalam Pasal RKUHP 2019 merupakan suatu delik aduan (Klacht delicten). Delik aduan ini merupakan suatu delik yang hanya bisa diproses ketika ada aduan atau laporan dari korban tindak pidana. Selain itu, urgensi perlindungan secara khusus mengenai kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden melihat 4 (empat) fungsi presiden dalam UUD NRI, yaitu :
a. Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala negara NKRI,
b. Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala pemerintahan (Pasal 4 ayat 1 UUD NRI),
c. Presiden dan Wakil Presiden adalah panglima tertinggi angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10 UUD NRI), dan
d. Presiden dan Wakil Presiden adalah kepala diplomat (Pasal 11 ayat 1 UUD NRI).
       Pasal penghinaan untuk menjaga kehormatan dan harkat dan martabat Presiden juga ada di dalam KUHP negara Lebanon, Korea, Thailand, Jepang, Jerman, hingga Polandia. Presiden dalam UUD NRI menjadi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sebagai simbol bangsa Indonesia dan Presiden bertugas sebagai diplomat sebagai solusi bahwa Presiden memiliki kedaulatan sebagai representasi simbol negara yang berdaulat. Maka dari itu, Presiden sebagai simbol negara perlu dijaga kehormatan beserta harkat dan martabatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H