Mohon tunggu...
Muhammad Fauzan Ilham
Muhammad Fauzan Ilham Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psychology Student | Content Writer | Personal Growth

Halo, Aku Fauzan! Mahasiswa Psikologi di Universitas Mercu Buana Jakarta. Selamat membaca artikel yang telah aku buat. Semoga bermanfaat, ya!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Psikologi Meme: Mengapa Kita Tertawa pada Lelucon Internet?

27 September 2024   21:19 Diperbarui: 27 September 2024   21:23 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pheelings Media dari Getty Images

Penulis: Mutiara Hafizha Deya

Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana

Di era digital ini, meme telah menjadi bahasa universal internet. Dari gambar lucu berkapsi hingga video pendek yang viral, meme telah mengubah cara kita berkomunikasi dan berbagi humor. Namun, mengapa meme begitu menghibur dan mampu membuat kita tertawa? Mari kita jelajahi psikologi di balik fenomena budaya pop ini.

  • Koneksi Instan dan Relatable Content: Salah satu kekuatan utama meme adalah kemampuannya untuk menciptakan koneksi instan. Penelitian oleh Miltner dan Highfield (2023) menunjukkan bahwa meme berhasil karena mereka menyentuh pengalaman bersama dan memanfaatkan pengetahuan budaya bersama untuk menciptakan makna. Ketika kita melihat meme yang 'relatable', otak kita melepaskan dopamin, hormon yang terkait dengan kesenangan dan reward.
  • Teori Inkongruensi dalam Humor: Banyak meme menggunakan prinsip teori inkongruensi dalam humor. Teori ini, yang dijelaskan dalam studi terbaru oleh Aillerie dan McNicol (2022), menyatakan bahwa kita tertawa ketika ada ketidaksesuaian antara apa yang kita harapkan dan apa yang sebenarnya terjadi. Meme sering memainkan ekspektasi kita, menciptakan twist tak terduga yang memicu tawa.
  • Efek Komunitas dan Social Proof: Dalam konteks meme, prinsip 'social proof' masih relevan. Ketika sebuah meme menjadi viral, ada dorongan psikologis untuk ikut tertawa dan membagikannya, menciptakan rasa memiliki dalam komunitas online. Penelitian oleh Drakett et al. (2022) menunjukkan bagaimana meme dapat memperkuat identitas kelompok dan norma sosial.
  • Pelepasan Stres dan Coping Mechanism: Dalam psikologi, humor sering dilihat sebagai mekanisme coping. Penelitian oleh Akram et al. (2020) menunjukkan bahwa selama pandemi COVID-19, meme membantu orang mengatasi kecemasan dengan melihat sisi humor dari situasi sulit. Tertawa, bahkan sebentar, melepaskan endorfin yang mengurangi stres dan meningkatkan suasana hati.
  • Singkat, Padat, dan Cepat: Dalam era di mana perhatian kita terbagi-bagi, meme menawarkan humor dalam format yang sangat singkat dan mudah dicerna. Hal ini sesuai dengan cara kerja otak modern yang terbiasa dengan informasi cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kesederhanaan dan kecepatan penyebaran meme membuatnya menjadi medium komunikasi yang efektif di era digital.
  • Kreativitas dan Partisipasi Aktif: Meme juga menarik karena sifatnya yang interaktif. Proses ini, yang disebut 'memetic participation', merangsang bagian otak yang terkait dengan kreativitas dan problem-solving. Sebuah penelitian menggambarkan bagaimana partisipasi dalam penciptaan dan penyebaran meme dapat menjadi bentuk ekspresi diri dan komentar sosial.

Kesimpulan

Meme lebih dari sekadar lelucon internet. Mereka adalah fenomena psikologi sosial yang kompleks, mencerminkan cara kita berkomunikasi, mengatasi stres, dan terhubung di era digital. Dari menciptakan koneksi instan hingga menjadi katarsis kolektif, meme telah menjadi bagian integral dari cara kita memahami dan menavigasi dunia modern.

Jadi, lain kali Anda tertawa melihat meme, ingatlah bahwa ada banyak lapisan psikologi di balik tawa sederhana itu. Meme mungkin terlihat sepele, tapi dampaknya pada psikologi dan interaksi sosial kita jauh dari itu. Mereka adalah cerminan digital dari kebutuhan manusia akan humor, koneksi, dan pemahaman bersama.

Referensi

Aillerie, K., & McNicol, S. (2022). Information Literacy and Fake News: New Perspectives on Critical Digital Literacy. Facet Publishing.

Akram, U., Irvine, K., Allen, S. F., Stevenson, J. C., Ellis, J. G., & Drabble, J. (2020). Internet memes related to the COVID-19 pandemic as a potential coping mechanism for anxiety. Scientific Reports, 10(1), 22511.

Drakett, J., Herridge, A., & Horton-Salway, M. (2022). Memes and social movement mobilisation: Exploring online political discourse. New Media & Society, 24(7), 1623-1644.

Katz, Y., & Croitoru, A. (2021). Quantifying the linguistic landscapes of memes. Information, Communication & Society, 24(8), 1103-1119.

Miltner, K. M., & Highfield, T. (2023). Never Gonna GIF You Up: Mapping the Visual Culture of Internet Memes. MIT Press.

Zannettou, S., Caulfield, T., Blackburn, J., De Cristofaro, E., Sirivianos, M., Stringhini, G., & Suarez-Tangil, G. (2020). On the origins of memes by means of fringe web communities. Proceedings of the 2020 Internet Measurement Conference, 509-523.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun