Suatu pagi yang cerah di Kota Semarang, saya dengan penuh semangat menunggu BRT Trans Semarang di halte. Udara segar pagi hari menambah semangat untuk memulai hari yang produktif. Namun, kegembiraan itu lenyap seketika saat bus BRT yang saya tunggu tiba, bukan dengan suara klakson yang ramah, tetapi dengan kepulan asap hitam pekat yang menyerang tanpa ampun. Kalau asap itu adalah wujud manusia, dia sudah pasti memenangkan pertandingan tinju. Satu kali pukul, langsung bikin dada sesak.
Bagi warga Semarang, fenomena ini sudah seperti kawan lama yang tidak diundang, namun terus hadir tanpa henti. Setiap kali BRT melintas, tidak hanya membawa penumpang, tapi juga "bonus" udara pekat beraroma eksotis yang bisa langsung bikin hidung mengkerut dan paru-paru minta tolong. Sudah tidak heran, banyak pengendara motor yang buru-buru menutup hidung mereka, seperti aksi ninja yang sedang menghindari serangan gas beracun.Â
Asap hitam ini layaknya monster dari cerita rakyat, selalu muncul dari ekor bus BRT yang tampaknya sudah jenuh menghirup bahan bakar solar. Dan seperti monster, asap ini tidak pilih-pilih korban. Pengendara motor, pejalan kaki, bahkan Pak Ogah yang membantu menyeberangkan jalan semuanya kebagian jatah. Bayangkan, jika BRT ini adalah pelayan restoran, mereka akan menghidangkan "polusi asap" yang tidak bisa kita tolak. Nikmat sekali, bukan? Hehehe.
Kalau bicara soal BRT Trans Semarang, saya teringat dengan perumpamaan lucu yang muncul di kepala saya setiap kali melihat bus ini lewat. Asap hitam BRT seakan-akan berkata, "Selamat pagi, Semarang! Ini dia, kabut dari alam neraka yang siap membantumu melatih paru-paru. Siap-siap sesak napas, ya!" Bagaimana tidak, tiap kali asapnya membumbung, rasanya seperti sedang berada di ruang sauna versi ekstrem, di mana alih-alih keringat, yang keluar justru batuk-batuk.
Pengalaman unik ini mengingatkan saya pada momen di mana kita berpikir menggunakan transportasi umum adalah solusi hijau dan ramah lingkungan. Tapi tunggu dulu, mungkin kita harus mengubah definisi "ramah lingkungan" ketika asap BRT bisa mengubah birunya langit Semarang menjadi kelabu hanya dalam hitungan detik. Jika ada kompetisi melukis langit dengan asap, BRT Trans Semarang pasti sudah masuk nominasi.
Bukan hanya satu kali saya mendengar guyonan dari warga Semarang yang mencoba menghibur diri. "Asap BRT itu ibarat tanda tangan khas kota kita," kata seorang teman sambil tertawa. "Jadi kalau kamu di belakang bus dan tidak sesak napas, itu artinya kamu bukan di Semarang!" Lucu, tapi tragis. Kalau kita bisa mengolah asap ini menjadi souvenir, mungkin kita sudah bisa membuka toko oleh-oleh khas polusi.
Lalu bagaimana dengan pengendara motor di Kota Semarang itu sendiri? Mereka adalah bak pejuang di "Pertempuran 5 Hari Semarang" yang siap menghadapi tantangan setiap hari. Dengan wajah tabah, mereka berangkat kerja dengan penawaran sensasi gratis berupa "terapi" asap hitam. Pengendara motor yang berada di belakang BRT pun kadang-kadang harus memilih: harus buru-buru menyalip atau pasrah dengan gangguan asap yang siap menyerang setiap kali bus berakselerasi.
Melihat kenyataan ini, kita semua tahu bahwa transportasi umum seharusnya menjadi solusi, bukan sumber masalah. Sudah saatnya BRT Trans Semarang melakukan peremajaan armada dan memastikan bahwa bus-bus tersebut tidak mengeluarkan "hadiah" asap hitam lagi. Kalau tidak, warga Semarang akan terus merasa seperti sedang berjalan di tengah awan polusi setiap hari. Kita ingin naik BRT bukan untuk "berkencan" dengan asap hitam, tapi untuk perjalanan nyaman dan bersih.
Pada akhirnya, masalah asap hitam ini adalah cerminan dari tantangan besar dalam pengelolaan transportasi umum. Warga Semarang berharap, suatu hari, BRT yang melintas tidak lagi membawa kepulan asap pekat. Bukannya sensasi sesak napas, tapi hanya kenyamanan dan udara segar yang menemani perjalanan kita. Hingga saat itu tiba, bersiaplah menutup hidung dan bernafas dalam-dalam, karena di belakang setiap BRT, ada "kabut misterius" yang siap menyapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H