Mohon tunggu...
CoretanFauzan
CoretanFauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, saya Fauzan, seorang mahasiswa yang saat ini menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi di Jawa Tengah. Hobi saya cukup random—kadang-kadang tenggelam dalam buku, terkadang asyik menjelajahi teknologi baru, atau sekadar menikmati waktu dengan ide-ide spontan. Di waktu senggang, saya sering menuangkan gagasan melalui tulisan dan desain sebagai cara berbagi inspirasi. Yuk, saling berbagi cerita dan sudut pandang di sini!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2024: Ketika Radikalisme Merambah Dunia Digital

26 November 2024   16:25 Diperbarui: 26 November 2024   16:35 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media Sosial  (Sumber: pexel.com)

Menjelang Pemilu 2024, radikalisasi digital semakin meresahkan. Konten ekstrem yang tersebar memperburuk polarisasi dan mengancam demokrasi Indonesia.

Menjelang Pemilu 2024, Indonesia dihadapkan pada ancaman baru yang tak kasat mata, tetapi sangat nyata. 

Penyebaran konten radikal di dunia digital. Dalam era di mana media sosial menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, narasi radikal kini menyusup ke dalam algoritma platform populer, menyasar mereka yang mudah terpengaruh, terutama generasi muda.

Fenomena ini bukan hanya ancaman bagi individu, tetapi juga bagi stabilitas demokrasi dan persatuan bangsa. Apa yang sebenarnya terjadi di ruang digital kita, dan bagaimana kita dapat melindungi demokrasi dari serangan ini?

Radikalisme di Ruang Digital 

Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dari Juli hingga Agustus 2023 saja, sebanyak 174 konten radikal dihapus dari platform media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube. Beberapa konten ini diketahui terkait dengan kelompok radikal seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiah (JI). Mereka menggunakan ruang digital untuk menyebarkan ideologi, merekrut anggota baru, dan bahkan menggalang dana.

Yang membuat kondisi ini semakin memprihatinkan adalah cara kelompok radikal memanfaatkan algoritma media sosial untuk menjangkau audiens. Algoritma ini dirancang untuk memperkuat keterlibatan pengguna, namun dalam konteks radikalisme, efeknya justru memperbesar dampak penyebaran ideologi ekstrem.

Mengapa Pemilu Menjadi Sasaran?

Tahun pemilu selalu menjadi waktu yang strategis bagi kelompok radikal untuk beraksi. Polarisasi politik menciptakan celah yang dapat mereka manfaatkan untuk memecah belah masyarakat. Narasi yang mereka sebarkan sering kali memanfaatkan isu-isu sensitif seperti agama, identitas, atau ketidakpuasan terhadap pemerintah.

Pemilu 2024 tidak luput dari ancaman ini. Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet di Indonesia, kelompok radikal memiliki ladang subur untuk memengaruhi opini publik. Generasi muda menjadi target utama karena mereka merupakan pengguna aktif media sosial yang sering kali kurang kritis terhadap informasi yang diterima.

Dampak yang Ditimbulkan 

Penyebaran konten radikal menjelang Pemilu 2024 membawa dampak yang luas bagi stabilitas sosial dan politik Indonesia. Selain memperburuk polarisasi sosial, konten radikal ini dapat memicu kekerasan dan teror, sebagaimana terlihat pada serangan terhadap Mabes Polri oleh individu yang terpengaruh radikalisasi digital. Ketegangan politik yang meningkat semakin memperburuk situasi, sementara generasi muda yang lebih rentan terhadap informasi ekstrem berisiko terjerumus dalam ideologi radikal. Dampaknya tidak hanya terasa di dunia maya, tetapi juga merusak integritas demokrasi dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem pemilu. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta untuk menjaga keamanan dan kedamaian di masa pemilu. 

Bagaimana Kita Melawan?

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini. Kominfo, bekerja sama dengan BNPT dan TNI, secara aktif memblokir konten radikal dan melacak akun-akun yang menyebarkan propaganda. Selain itu, masyarakat juga didorong untuk melaporkan konten mencurigakan melalui platform seperti aduankonten.id.

Namun, upaya pemerintah saja tidak cukup. Literasi digital menjadi kunci utama dalam melawan penyebaran radikalisme. Edukasi kepada masyarakat tentang cara mengenali dan melawan propaganda digital harus ditingkatkan.

Selain itu, kita juga perlu menciptakan kontra-narasi yang positif dan menyatukan. Media, akademisi, dan tokoh masyarakat memiliki peran besar dalam menyuarakan nilai-nilai persatuan dan demokrasi.

Harapan untuk Pemilu 2024

Pemilu seharusnya menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk bersatu dan merayakan demokrasi. Namun, untuk mewujudkan pemilu yang damai dan bebas dari ancaman radikalisme, dibutuhkan kerja sama semua pihak.

Mari kita jadikan ruang digital sebagai tempat untuk menyebarkan ide-ide positif dan inspiratif, bukan kebencian dan perpecahan. Dengan demikian, Pemilu 2024 tidak hanya menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi juga menjadi simbol bahwa Indonesia mampu mengatasi tantangan di era digital ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun