Perbatasan bukan sekadar garis pemisah, tetapi juga simbol kedaulatan negara dan arena diplomasi yang memerlukan pengelolaan strategis. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, isu perbatasan menjadi perhatian utama, terutama melalui pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang menegaskan kehadiran negara di wilayah terluar. Namun, di era pemerintahan Prabowo Subianto, perhatian terhadap isu perbatasan seolah mulai bergeser. Hal ini terlihat dari Astacita, delapan misi pemerintahan baru, yang tidak secara eksplisit menyoroti perbatasan sebagai prioritas.
Tantangan perbatasan kini semakin rumit, terutama di tengah dinamika geopolitik. Salah satu isu yang menjadi sorotan dalam satu bulan ini adalah kesepakatan antara Indonesia dan China dalam Joint Statement pada 9 November 2024, di mana kedua negara sepakat untuk bekerja sama mengelola wilayah tumpang tindih (overlapping area), termasuk dalam eksplorasi sumber daya alam di Laut China Selatan. Langkah ini memunculkan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kedaulatan Indonesia.
Overlapping Area: Ancaman atau Peluang?
Kesepakatan kerja sama pengelolaan overlapping area antara Indonesia dan China sekilas terlihat sebagai langkah diplomasi yang konstruktif, namun menyimpan risiko besar. Indonesia selama ini memegang teguh prinsip yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dan menetapkan Laut Natuna Utara sebagai bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Di sisi lain, China tetap bersikeras mempertahankan klaim historisnya melalui nine dash line, yang secara hukum telah ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016.
Kesepakatan tentang overlapping area ini dapat dimaknai sebagai pengakuan tersirat atas klaim China, meskipun Indonesia tidak memiliki wilayah tumpang tindih dengan nine dash line. Wilayah maritim Indonesia hanya berbatasan dengan Vietnam dan Malaysia di Laut China Selatan. Indonesia dan Vietnam telah menyelesaikan perundingan batas Landas Kontinen pada 2003 dan Zona Ekonomi Eksklusif pada 2022, sedangkan perundingan batas ZEE dengan Malaysia masih berlangsung. Dalam kondisi ini, klaim China yang tidak diakui secara internasional seharusnya tidak diberi ruang untuk dinegosiasikan.
Jika kesepakatan ini tidak dikelola dengan tegas, ada risiko bahwa China akan memanfaatkan kerja sama ini untuk memperkuat kehadirannya di kawasan yang secara hukum berada dalam yurisdiksi Indonesia. Hal ini tidak hanya melemahkan posisi Indonesia, tetapi juga berpotensi membuka peluang bagi negara lain untuk menantang kedaulatan Indonesia di perbatasan.
Diplomasi Perbatasan yang Tegas
Dalam menghadapi situasi ini, pemerintahan Prabowo perlu mengambil langkah diplomasi yang tegas. Pertama, Indonesia harus mempertegas bahwa tidak ada wilayah tumpang tindih dengan nine dash line. Kerja sama dengan China hanya dapat dilakukan jika berlandaskan pada UNCLOS 1982, yang menjadi acuan utama dalam penyelesaian sengketa maritim di wilayah tersebut.
Selain itu, Indonesia harus memperkuat posisi diplomatiknya dengan negara-negara lain yang memiliki klaim di Laut China Selatan. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa Laut China Selatan dikelola berdasarkan prinsip hukum internasional yang berlaku, bukan berdasarkan klaim sepihak.
Pemerintahan Prabowo juga harus meninjau ulang kesepakatan kerja sama pengembangan bersama di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih agar tidak mengorbankan hak-hak berdaulat Indonesia. Dalam hal ini, diplomasi yang asertif namun konstruktif harus menjadi kunci, sehingga hubungan dengan China tetap terjaga tanpa mengorbankan kedaulatan nasional.