Ketika mendengar kata "perbatasan," apa yang pertama kali terlintas di pikiran Anda? Bagi sebagian orang, perbatasan adalah tempat yang jauh, terpencil, dan sering dianggap tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Namun, bagi masyarakat di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), perbatasan adalah bagian penting dari kehidupan mereka. Lebih dari sekadar garis di peta, perbatasan adalah ruang di mana kehidupan, budaya, dan ekonomi berkembang, meski sering kali dihadapkan pada berbagai keterbatasan.
Kabupaten Maluku Barat Daya, yang terletak di ujung tenggara Indonesia, berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Wilayah ini memiliki potensi besar untuk menjadi gerbang strategis Indonesia di kawasan tersebut. Namun, hingga kini, belum ada Pos Lintas Batas Negara (PLBN) untuk mendukung aktivitas lintas batas secara resmi. Kondisi ini membuat MBD kehilangan peluang besar, baik dalam aspek sosial budaya, ekonomi, keamanan, maupun hubungan internasional.
MBD memiliki luas wilayah sebesar 4.581,06 km yang terdiri pulau-pulau yang tersebar dari Kecamatan Wetar Barat sampai Kecamatan Dawelor Dawera. Kabupaten MBD memiliki 48 pulau dimana 7 di antaranya merupakan pulau-pulau terluar. Empat dari tujuh pulau ini berbatasan dengan wilayah negara Timor Leste, yaitu Lirang, Wetar, Kisar dan Leti. Sebagian besar wilayah MBD berbatasan dengan Laut Timor dan Selat Wetar, menjadikannya daerah perbatasan maritim yang sangat strategis.
Sebagai contoh, Pulau Lirang hanya berjarak 14,5 km dari Pulau Atauro, Timor Leste. Jarak yang dekat ini membuat aktivitas lintas batas seperti perdagangan dan kunjungan keluarga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, tantangan geografis seperti akses jalan yang terbatas, infrastruktur pelabuhan yang belum memadai, serta tidak adanya instansi terkait lintas batas (setidaknya imigrasi) sering kali menjadi penghambat aktivitas lintas batas tersebut.
Potret sosial budaya yang kuat
Masyarakat di wilayah perbatasan MBD memiliki hubungan sosial-budaya yang sangat erat dengan masyarakat Timor Leste, terutama di empat pulau yang berbatasan dengan Timor Leste. Hubungan ini telah berlangsung lama dari semenjak Timor-Timur masih menjadi bagian wilayah Indonesia hingga akhirnya Timor Leste Merdeka dan pisah dari Indonesia, dan terjaga melalui tradisi kunjungan keluarga, pernikahan adat, serta perdagangan lintas batas.
Salah satu contoh aktivitas lintas batas yang menarik adalah hubungan antara masyarakat pulau Lirang (Wetar Barat) dengan masyarakat pulau Atauro (pulau Kambing), Timor Leste. Kedua masyarakat yang dipisahkan secara politik ini memiliki hubungan kekerabatan yang sangat kuat.Tak hanya dalam aspek sosial budaya, hubungan ini juga terjalin dalam sektor ekonomi. Nelayan dari pulau Lirang sering membawa hasil tangkapan mereka ke Atauro untuk dijual, dan kembali ke pulau Lirang dengan membawa barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat pulau Lirang. Seringkali masyarakat Lirang juga berobat ke Atauro bahkan sampai ke Dili (ibu kota Timor Leste) karena minimnya fasilitas kesehatan yang ada di Lirang. Terkadang warga Atauro juga datang ke Lirang untuk membeli ikan.
Ketergantungan ini yang kemudian memunculkan ungkapan sentimen, "Indonesia di dadaku, Timor Leste di perutku." Ungkapan ini menggambarkan realitas ketergantungan masyarakat Lirang pada Atauro, Timor Leste untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak dan lain-lain. Situasi ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi umum masyarakat di perbatasan Timor Leste dengan Indonesia, di mana ketergantungan Timor Leste terhadap Indonesia sangat tinggi.
Namun, kondisi sosial budaya ini tidak lepas dari tantangan. Masyarakat Lirang yang menjual hasil laut ke Atauro sering kali menjadi korban pungutan liar oleh aparat di Timor Leste. Selain itu, proses perizinan lintas batas di Atauro yang rumit membuat mereka harus melewati berbagai tahapan administrasi, yang menghambat kelancaran aktivitas perdagangan.
Beberapa permasalahan dan kasus nyata di MBD mencerminkan perlunya perhatian serius dari pemerintah untuk mengkaji perlunya keberadaan pos lintas batas negara (PLBN) di MBD yang nantinya dapat memfasilitasi mobilitas masyarakat kedua negara.
Peluang dari pembangunan PLBN
Pembangunan PLBN di MBD dapat menjadi solusi strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas. PLBN tidak hanya akan menjadi gerbang resmi untuk aktivitas lintas batas antar negara, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru yang mendorong pertumbuhan wilayah. Pembangunan PLBN di MBD dapat memberikan banyak manfaat, di antaranya: pertama, meningkatkan potensi ekonomi. Hasil laut yang melimpah, perkebunan dan peternakan dari MBD dapat menjadi komoditas unggulan yang diekspor melalui PLBN. Selain itu, potensi wisata bahari seperti pantai eksotis di Wetar dan situs budaya di Kisar juga dapat menarik wisatawan internasional.
Kedua, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. PLBN dapat menjadi katalisator bagi pembangunan infrastruktur dan penyediaan fasilitas pelayanan dasar di pulau-pulau perbatasan, seperti jalan, listrik, telekomunikasi, air bersir, fasilitas kesehatan yang memadai. Hal ini akan berdampak langsung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Ketiga, meningkatkan keamanan dan kedaulatan. Dengan adanya PLBN, aktivitas lintas batas akan lebih terpantau. Kantor imigrasi, karantina, dan bea cukai, serta aparat keamanan terkait dapat memastikan bahwa aktivitas tersebut sesuai dengan regulasi, sehingga ancaman keamanan dapat diminimalkan.
Paradiplomasi untuk kerjasama yang lebih baik
Di luar pembangunan fisik dan penyediaan fasilitas dasar, hubungan lintas batas di MBD juga memerlukan pendekatan diplomasi yang lebih inklusif melalui paradiplomasi. Konsep paradiplomasi menggambarkan aktivitas internasional yang dilakukan oleh aktor-aktor sub-nasional (non-negara), salah satunya pemerintah daerah (Pemda) dalam mendukung, melengkapi, mengoreksi dan menduplikasi diplomasi negara. Pemerintah daerah MBD dapat menjalin komunikasi langsung dengan pemerintah daerah di Timor Leste untuk membahas masalah-masalah seperti misalnya kerjasama ekonomi lintas batas, menyelesaikan isu-isu lokal seperti perdagangan lintas batas dan aktivitas kekerabatan lintas batas, serta mempromosikan budaya kedua komunitas yang memiliki akar yang sama.
Paradiplomasi memungkinkan pemerintah daerah MBD dan pemerintah daerah di Timor Leste untuk menemukan solusi bersama tanpa harus selalu bergantung pada pemerintah pusat. Langkah ini juga dapat meningkatkan kepercayaan dan rasa saling menghormati antara masyarakat di kedua sisi perbatasan ini. Membangun komunikasi dan kerjasama sesama pemerintah daerah kedua negara bertetangga ini tidak harus menunggu perundingan batas laut antara Indonesia dengan Timor Leste yang entah kapan akan dimulai.
Penutup: perbatasan sebagai jembatan
Kawasan perbatasan seperti MBD adalah wajah Indonesia di mata dunia. Sayangnya, wajah ini sering kali belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah pusat. Pembangunan PLBN di MBD adalah langkah awal untuk memperkuat kedaulatan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Jika dikelola dengan baik, MBD tidak hanya akan menjadi halaman depan Indonesia yang kuat, tetapi juga menjadi jembatan penghubung antara dua negara untuk tumbuh bersama. PLBN bukan sekadar gerbang, melainkan simbol dari komitmen pemerintah untuk tidak lagi memandang perbatasan sebagai daerah pinggiran, melainkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan masa depan bangsa.
KALWEDO!
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H