"Good Fences Make Good Neighbors" (Robert Frost, 1914)
Pada 17 September 2024 lalu, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merayakan ulang tahunnya yang ke-14. Selama perjalanannya, BNPP telah memainkan peran penting dalam pembangunan dan pengelolaan perbatasan Indonesia. Namun, peringatan kali ini terasa berbeda karena terjadi di tengah transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang akan memulai masa jabatannya pada akhir Oktober 2024. Pada satu sisi, pemerintahan Joko Widodo telah meletakkan fondasi yang cukup kuat melalui program Nawacita (9 program prioritas pembangunan nasional).Â
Program Nawacita telah menempatkan pengelolaan perbatasan sebagai prioritas, khususnya melalui poin ketiga Nawacita yakni membangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa. Membangun dari pinggiran tidak saja terkait dengan geografis daerah (kewilayahan) yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, tetapi juga terkait dengan komunitas/masyarakat yang terpinggirkan dan minimnya akses pendukung ekonomi.Â
Namun di sisi lain, kepemimpinan baru di bawah Prabowo dengan visi Astacita (8 prioritas program) belum terlihat memberikan penekanan khusus terhadap isu perbatasan. Ini membuka ruang refleksi dan harapan mengenai arah kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Nawacita: Membangun dari Pinggiran
Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, program Nawacita, terutama poin ketiga yang berfokus pada "Membangun dari Pinggiran," menjadi fondasi untuk pengembangan kawasan perbatasan. Sebagai negara kepulauan dengan 17.504 pulau, Indonesia memiliki garis perbatasan yang luas, baik di darat maupun di laut.Â
Oleh karena itu, perbatasan Indonesia memerlukan kebijakan yang komprehensif untuk mengelola perbatasan, tidak saja terkait dengan batas-batas negara, namun juga terkait dengan keamanan, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di perbatasan. Jokowi menyadari pentingnya memperkuat kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara Indonesia, terutama di mata negara-negara tetangga yang berbatasan.Â
Pembangunan infrastruktur di perbatasan dan pos lintas batas negara (PLBN) menjadi bagian penting dari agenda ini. Pada tahap pertama (melalui Inpres No. 6/2015), telah selesai dan dioperasikan 7 PLBN yakni PLBN Aruk, Entikong, Badau (di Kalimantan Barat), Motaain, Motamasin, Wini (di NTT), dan Skouw (di Papua). Dengan pembangunan beberapa PLBN ini, diharapkan tidak hanya sebagai pintu gerbang negara (exit-entry point), namun juga sebagai pusat pertumbuhan ekonomi (episentrum) bagi pengembangan ekonomi kawasan.
Kemudian pada tahap kedua (melalui Inpres No. 1/2019), telah diresmikan dan dioperasikan PLBN Sota (Merauke) bersamaan dengan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya pada Rabu (2/10) presiden Joko Widodo meresmikan 7 PLBN yang dilaksanakan secara simbolik di PLBN Napan, Timor Tengah Utara, NTT. Enam PLBN Â lain yang turut diresmikan, adalah PLBN Serasan (Natuna, Kepulauan Riau), PLBN Jagoi Babang (Bengkayang, Kalimantan Barat), PLBN Sei Nyamuk (Nunukan, Kalimantan Utara), PLBN Long Nawang (Malinau, Kalimantan Utara), PLBN Labang (Nunukan, Kalimantan Utara), dan PLBN Yetetkun (Boven Digoel, Papua Selatan).
Namun demikian, masih ada 3 PLBN warisan Jokowi yang belum tuntas hingga akhir masa jabantannya dan menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintahan berikutnya, yaitu  PLBN Long Midang (Nunukan, Kalimantan Utara), PLBN Sei Kelik (Sintang, Kalimantan Barat) dan Oepoli (Kupang, NTT). Pekerjaan rumah ini akan menjadi salah satu tantangan bagi pemerintahan Prabowo untuk memastikan keberlanjutan dan penyelesaian pembangunan yang telah dimulai.
Masa Transisi: Astacita dan Tantangan Kelembagaan BNPP