Alat utama untuk menunjang pembelajaran daring yang berupa telepon pintar, jangkauan sinyal dan kuota internet memang kelihatan mudah didapatkan. Semua orang di zaman sekarang seakan sudah memiliki ketiga hal tersebut, namun kenyataannya tidak demikian
Di TV dan media sosial seringkali memperlihatkan berita mengenai orang tua yang mencuri ponsel dengan dalih supaya anaknya dapat mengikuti pembelajaran daring. Ada pula beberapa anak yang harus berbagi satu ponsel milik orangtuanya bersama-sama. Bahkan saking susahnya, ada seorang pelajar yang harus pergi ke sekolah dengan diajarkan oleh gurunya sendirian karentidak punya uang untuk memiliki gadget.Â
Lalu kisah mengenai para pelajar yang harus pergi mendaki bukit, duduk di tepi jalan dan pergi ke pantai untuk mencari jangkauan sinyal. Memang, perkuliahan daring tidak seenteng yang dibayangkan. Begitu banyak ragam persoalan yang mengerogoti sistem pembelajaran gaya baru itu. Salah seorang yang mendapat sedikit masalah dikarenakan pembelajaran daring tersebut ialah Lisa.
Nama lengkapnya Lisa Atriyeni. Ia seorang gadis cantik yang enerjik dan memiliki suara yang agak melengking, saat ini ia menuntut ilmu di jurusan Kimia FMIPA Unand. Pandemi korona yang tumbuh subur memaksa ia dan seluruh mahasiswa dipenjuru negeri harus kuliah menatap layar kaca. Kuliah metode daring memang menyenangkan karena bisa dilakukan di rumah sendiri.
Sayangnya untuk Lisa tidak demikian. Ia harus menempuh perjalanan dari rumahnya yang berada di Nagari Langki menuju Pusat Kecamatan Tanjung Gadang selama satu jam hanya untuk mencari daerah yang terjangkau sinyal. Tiap hari selama berkuliah daring, ia selalu melakukan hal demikian.
Sewaktu libur kemarin, ia sering tidak aktif. Kadang cuma sekali dalam seminggu Lisa pergi ke daerah terjangkau sinyal hanya sekedar untuk berkomunikasi bersama kawan-kawan dan tak lupa mengecek informasi penting supaya tidak terlewatkan. Kadangkala, jika ada urusan penting, kawan-kawan seangkatannya akan kesusahan untuk mengontak gadis bersuara agak melengking itu, namun mereka sudah maklum.
Terhitung sudah dua atau tiga bulan perkuliahan daring dimulai, maka sudah selama itu pula Lisa menempuh perjalanan pulang-pergi yang jika ditotalkan menghabiskan waktu dua jam.Â
Dua jam dalam satu hari, maka dalam satu minggu---senin sampai jum'at---Lisa akan menghabiskan 10 jam waktunya untuk duduk di kendaraannya menuju Tanjung Gadang serta kembali ke rumahnya yang berada di Nagari Langki. Malang sekali memang. Namun apalah daya, keterbatasan yang ada tak membuatnya menyerah. Ia yakin pandemi ini bisa segera berakhir dan ia bisa kuliah dengan lancar lagi secara tatap muka.
Bagaikan pepatah "Untung tak dapat dicari, malang tak dapat ditolak", pada 24 Agustus sore hari, Lisa yang sehabis belajar dari daerah terjangkau sinyal sedang dalam perjalanan menuju rumahnya.Â
Di perjalanan, Lisa yang telah berkendara dengan hati-hati mendapati kejadian yang mengenaskan. Ia mengalami tabrakan antara motor dengan motor. Ia mengabari teman-temannya, ia bilang kalau lukanya tidak terlalu parah, hanya jarinya terlihat antara patah atau retak, kakinya luka, dan sebagian mukanya yang menghijau.
Hal seperti ini menjadi suatu aib bagi para pembuat kebijakan. Mereka memalukan, sangat memalukan. Apalagi baru saja negara ini memperingati hari kemerdekaannya yang ke tigaperempat abad, tujuh puluh lima tahun. Bukanlah umur yang muda lagi, tapi masih terjadi pembangunan yang tidak merata. Yang akan canggih hanya penduduk kota, yang kolot tetap penduduk desa.
Sebagai pelajar yang baik, tentu kami senantiasa belajar sebaik mungkin. Namun, jika kesusahan terus melanda layaknya kejadian yang dialami Lisa, konsentrasi akan terpecah belah. Diharuskan betul kepada pembuat kebijakan untuk memperhatikan seluruh para pelajar di negeri ini agar tetap dapat belajar dengan nyaman dan aman, tanpa diharuskan menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencari sinyal.Â
Percayalah, banyak sekali di luar sana kejadian yang serupa namun luput dari media massa. Untuk Lisa sang pelajar tangguh pemburu sinyal tetaplah pupuk pohon semangat. Do'a untukmu semoga lekas sembuh, dan jangan lupa do'akan juga para pembuat kebijakan ini agar memperhatikan nasib masyarakat yang berada di daerah 3T tersebut, karena do'a orang yang sakit biasanya manjur. Mana tau, nanti terjadi keajaiban. Ya, kan Lisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H