Pada hari biasa di masa sebelum wabah merebak, untuk berkuliah saya pergi ke kampus.Â
Saya begitu menikmati belajar bersama dosen dan bercengkerama dengan teman-teman seperjuangan. Namun semenjak kampus diliburkan, saya harus melakukannya lewat smartphone dengan bantuan koneksi internet yang lancar.
Perkara smartphone syukur saya punya, akan tetapi koneksi internet lain cerita. Di tempat saya tinggal Kenagarian Rawang, Gunung Malelo Surantih, Kec. Sutera, Kab. Pesisir Selatan Sumbar, koneksi internet merupakan tamu yang jarang singgah.Â
Ia biasa mampir dengan ramah di saat masyarakat mulai mengantuk sampai embun pagi mulai menguap. Lain daripada waktu itu, sang koneksi internet akan macet dan apa pun yang saya lakukan dengan jaringan berbuntut pada diam di tempat atau jika beruntung akan dihibur permainan dinosaurus.
Jika mendapati hal demikian, saya segera menyiasatinya dengan mencari daerah strategis tempat koneksi internet berada. Biasanya sinyal ditemukan dengan mudah pada daerah yang bebas dari kungkungan perbukitan dan pada lapangan yang luas.Â
Dari rumah saya tempat demikian hanya berjarak beberapa kilometer saja. Sayangnya daerah yang bersinyal bagus tersebut merupakan tepi jalan, sehingga saya tidak bisa berkonsentrasi dengan baik dikarenakan bisingnya desingan kendaraan yang lalu lalang.
Saya mencari tempat lain dengan syarat tempatnya nyaman, tenang, dan bersinyal kencang, maka saya pilihlah muara pantai Surantih. Di mana, tempat tersebut berada di tempat yang terbuka---bahkan tiang pemancar terlihat jelas dari kejauhan---sejuk, dan tentunya asyik untuk berkuliah dengan santai tapi tetap serius.
Saya merasa beruntung sekali mendapati kesempatan bisa berkuliah di tempat yang sangat berlawanan dari suasana kelas yang sumpek penuh orang. Saya begitu menikmati ketenangan dari hembusan angin laut dan mendengar bunyi gemercik muara yang juga berdekatan dengan pantai di seberangnya.
Selain bersyukur saya juga mengeluh bilamana saat belajar daring seperti sekarang ini banyak didapati kesusahan dalam memahami materi apalagi jika itu soal masalah hitung-hitungan.Â
Ditambah lagi diajari oleh dosen yang kurang ngeh sama materinya sendiri, mau tanya sama teman, teman pun gak ngerti. Alhasil, saya harus baca ulang materi yang diberikan oleh Bapak Ibu dosen. Ya, tentu juga tanya sama teman lagi, jadinya kerja duakali.
Saat belajar daring menggunakan aplikasi video tatap muka, Zoom, terasa sangat membosankan. Saya dan rekan seperjuangan harus menatap layar smartphone, mendengar Bapak Ibu dosen membacakan slidenya layaknya kami tidak tahu membaca saja.