Mohon tunggu...
Fauzan Fajari
Fauzan Fajari Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Kimia yang ijazahnya baru keluar setelah 2 bulan diwisuda

Seorang Pemuda Gemar Membaca, Nonton Film dan Jalan-Jalan. Pengen Jadi Penulis, Sutradara dan Pengusaha.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berkuliah di Tepi Pantai

20 Oktober 2020   10:23 Diperbarui: 20 Oktober 2020   10:26 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada hari biasa di masa sebelum wabah merebak, untuk berkuliah saya pergi ke kampus. 

Saya begitu menikmati belajar bersama dosen dan bercengkerama dengan teman-teman seperjuangan. Namun semenjak kampus diliburkan, saya harus melakukannya lewat smartphone dengan bantuan koneksi internet yang lancar.

Perkara smartphone syukur saya punya, akan tetapi koneksi internet lain cerita. Di tempat saya tinggal Kenagarian Rawang, Gunung Malelo Surantih, Kec. Sutera, Kab. Pesisir Selatan Sumbar, koneksi internet merupakan tamu yang jarang singgah. 

Ia biasa mampir dengan ramah di saat masyarakat mulai mengantuk sampai embun pagi mulai menguap. Lain daripada waktu itu, sang koneksi internet akan macet dan apa pun yang saya lakukan dengan jaringan berbuntut pada diam di tempat atau jika beruntung akan dihibur permainan dinosaurus.

Jika mendapati hal demikian, saya segera menyiasatinya dengan mencari daerah strategis tempat koneksi internet berada. Biasanya sinyal ditemukan dengan mudah pada daerah yang bebas dari kungkungan perbukitan dan pada lapangan yang luas. 

Dari rumah saya tempat demikian hanya berjarak beberapa kilometer saja. Sayangnya daerah yang bersinyal bagus tersebut merupakan tepi jalan, sehingga saya tidak bisa berkonsentrasi dengan baik dikarenakan bisingnya desingan kendaraan yang lalu lalang.

Saya mencari tempat lain dengan syarat tempatnya nyaman, tenang, dan bersinyal kencang, maka saya pilihlah muara pantai Surantih. Di mana, tempat tersebut berada di tempat yang terbuka---bahkan tiang pemancar terlihat jelas dari kejauhan---sejuk, dan tentunya asyik untuk berkuliah dengan santai tapi tetap serius.

Saya merasa beruntung sekali mendapati kesempatan bisa berkuliah di tempat yang sangat berlawanan dari suasana kelas yang sumpek penuh orang. Saya begitu menikmati ketenangan dari hembusan angin laut dan mendengar bunyi gemercik muara yang juga berdekatan dengan pantai di seberangnya.

Selain bersyukur saya juga mengeluh bilamana saat belajar daring seperti sekarang ini banyak didapati kesusahan dalam memahami materi apalagi jika itu soal masalah hitung-hitungan. 

Ditambah lagi diajari oleh dosen yang kurang ngeh sama materinya sendiri, mau tanya sama teman, teman pun gak ngerti. Alhasil, saya harus baca ulang materi yang diberikan oleh Bapak Ibu dosen. Ya, tentu juga tanya sama teman lagi, jadinya kerja duakali.

Saat belajar daring menggunakan aplikasi video tatap muka, Zoom, terasa sangat membosankan. Saya dan rekan seperjuangan harus menatap layar smartphone, mendengar Bapak Ibu dosen membacakan slidenya layaknya kami tidak tahu membaca saja.

Pernah juga waktu itu, saya mendapati Bu Dosen yang tidak tahu cara menampilkan slidenya di aplikasi Zoom tersebut, padahal jam kuliah sudah terlewatkan seperempat jam lebih. 

Bu dosen itu lalu meminta bantuan anaknya dan mereka berdiskusi, lalu katanya Bu dosen itu, "Maaf ya, kelas. Sepertinya laptop ibu sudah tua, minta beli yang baru nih." 

Walah, Bu juga tua toh dalam hatiku bicara begitu. Masa dari tadi gak bisa, bilang aja gak tau. Yang bikin sebalnya, salah satu teman kelasku sudah memberikan tutorial singkat sebelumnya tapi gak berhasil. 

Ah, sudahlah, mengingatnya bikin kesal apalagi mengingat kuota yang terbuang sia-sia demi untuk mendengar "Laptopnya minta ganti baru, nih."

Bicara soal kuota, malangnya lagi kampus tempatku kuliah malah gak pernah ngasih bantuan. Meskipun gak ngebantu, rektornya pernah bikin Surat Edaran yang salah satu pernyataannya bilang supaya penggunaan aplikasi video tatap muka dikurangi, tapi nyatanya tiap hari selalu saja buka aplikasi Zoom. 

Tapi syukurlah pada akhir september ini kuota dari Kemdikbud sudah nyampe, lumayanlah kuota bantuannya, totalnya 50GB dengan pembagian 5GB internet bebas dan 45 GB untuk akses web belajar daring (Website kampus, aplikasi video tatap muka, aplikasi belajar online, dsb).

Ya, gitulah pokoknya. Kuliah daring gak asyik. Menyebalkan malah. Mataku sering perih karena menatap layar terus tiap hari. Tanganku juga pegel karena megang smartphone terus-terusan.  

Walaupun sebenarnya berkuliah lewat sambungan internet memiliki beberapa kekurangan yang salah satunya yaitu kurang terasanya roh komunikasi itu sendiri. Saya menyadari jikalau mengeluh tidak ada untungnya. Di balik susahnya mencari koneksi internet untuk berkuliah, banyaknya gak ngerti sama materi, dllnya, saya mendapati hadiah berupa tempat yang damai dengan kecepatan jaringan super. Dan tak bisa dipungkiri, merebaknya wabah membuat saya bisa berlama-lama berada di dekat keluarga yang mana hal tersebut tak akan bisa saya dapati jikalau berkuliah seperti biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun