Telo Lai, Kopi petik merah
Fauzanahmadud - Suguhan kopi panas menjadi hidangan wajib bagi tamu, hal itu pemandangan lumrah terlihat. Ya, kopi memang sudah menjadi minuman fovorit masyarakat Indonesia sejak duhulu.
Jika dulu kopi identik dengan kalangan tua,namun tidak dengan beberapa tahun terakhir. Terlihat dengan bermunculannya warung kopi, cafe dan kedai, mulai dari brand lokal hingga Internasional. Bahkan ngopi menjadi tren, gaya hidup kalangan muda Indonesia dan dunia.
Menurut Nurdianah, (2019). Mengonsumsi kopi sudah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia. Berdasarkan data dari Euromonitor cafe di Indonesia selalu bertambah setiap tahun, bahkan pertumbuhannya meningkat sampai 16% setiap tahunnya. Hampir semua cafe di Indonesia selalu ramai oleh konsumen usia remaja dan dewasa. Karena saat ini cafe bukan hanya menjadi tempat untuk menikmati kopi, namun juga menjadi tempat untuk bertemu seseorang, tempat belajar untuk pelajar atau mahasiswa, bahkan sebagai tempat nongkrong kalangan muda. Adanya pergeseran atau perubahan fungsi dari sebuah tempat makan, seperti cafe ataupun restoran mengakibatkan adanya fenomena sosial dan budaya baru di dalam masyarakat karena perubahan perilaku dari masyarakat tersebut (Sholahuddin dalam Nurdianah, 2019).
Bicara soal kopi, rasanya tak lengkap jika tidak berkunjung ke Kabupaten Lebong dan mencicipi rasa khas kopi tanah rejang. Menurut data statistik, komuditi kopi Lebong dari rahun ketahun mengalami kenaikan. Ya, selain terkenal akan indahnya panorama alamnya, Lebong merupakan Kabupaten penghasil Kopi. Artinya kebanyakan petani di Lebong menggantungkan harapannya dengan komuditi Kopi, lantas bagaimana kesejahteraan petani Kopi di Lebong?
Berkunjung ke tanah dengan simboyan Bumi Swarang Patang Stumang. Didapati hamparan luas tanaman Kopi, namun luasnya lahan ternyata tidak menjamin kesejahteraan petaninya. Persoalannya bukan pada kualitas kopinnya, melainkan pengelolaan menjadi produk jadi siap dipasarkan sangatlah minim. Literasi, pencerahan dan pendampingan para petani sangatlah kurang, jauh lebih penting keterbukaan petani untuk dibina itu utamanya, tentu hal ini membutuhkan dukungan dari berbagai elemen.
Era digitalisasi sepatutnya menyadarkan kita akan keterbukaan informasi, hari ini apasaja bisa diakses bukan? sepatutnya hal tersebut dimanfaatkan, kalaulah kopi Lebong poduk jadi dan siap dipasarkan ketersediaanya merambah bukankah itu akan meningkatkan kesejahteraan petaninya. Hal itu ternyata menjadi semangat lahirnya brand kopi "Tebo Lai".
"Tebo Lai" berasal dari bahasa masyarakat setempat, tepatnya suku rejang. "Tebo" berarti bukit dan "Lai" artinya besar, dapat disimpulkan bukit yang besar dan telah berhasil membina sekaligus bermitra dengan petani kopi setempat.
Brand yang beralamatkan di Desa Danau Liang tersebut mempunyai kebun inti kisaran 4 lentar dan berhasil membina petani dengan luas keseluruhan lahan 30 hektar. "Tebo Lai" telah berhasil memasarkat produknya di seluruh Indonesia bahkan, beberapa kesempatan telah mengikuti ajang festival kopi Internasional.
Produk "Tebo Lai" sendiri berjenis Robusta, dengan sistem petik merah dan dengan pengeringan tidak dibawah matahari lansung melainkan ditutupi dengan seng tranparan. Produk dengan semagat perihatin akan kesejahteraan petani tak kunjung membaik tersebut setidaknya telah mengeluarkan produk lebih dari 800 kilo per bulannya. Bahkan bulan-bulan tertentu permintaan pasar tidak bisa dipenuhi. Tentu hal tersebut akan dampak positif bagi perekonomian petaninya, dikarenakan "Tebo Lai" membeli hasil petik merah dengan harga tertinggi dipasaran bahkan terkadang sesaui dengan permintaan petani.
Produk yang ditanam 800 sampai 1.200 MDPL tersebut tidak hanya mengeluarkan kopi bubuk melainkan juga berupa beras kopi. Tidak hanya soal bisnis, jual, beli dan untung tapi education dan setia mendampingi para petani lebih utama bagi rumah produksi "Tebo Lai". Lahir di tahun 2018 silam, rumah produksi dikelola lansung oleh putra daerang yang lahir kemudian besar di Lebong, Dezon, merupakan alumni Kesejahteraan Sosial Universitas Bengkulu.
Tidak banyak dari kita yang berpikir dan mempunyai konsef seperti rumah produksi "Tebo Lai", yang menjadikan petani sebagai objek pembangunan dan kesejahteraan targetnya. Konsef memperpendek pasar semacam ini harus dikedepankan, bukan mendatangkan investor skala besar yang ujung-ujungnya timbul permasalahan baru bahkan tekadang menimbulkan konplik lahan dengan petani. Sudah saatnya petani atau masyarakat menjadi objek bukan subjek pembangunan, utamanya soal peningkatan tarap hidup, kemiskinan dan ketimpangan sosial bangsa ini.
Selain education dan kesejahteraan petani, "Tebo Lai" bertekad menembus pasar Internasional, terdekat pasar Turki akan berusaha ditembus dan lebih jauh lagi Tumur Tengah bahkan Eropa. Jika kebanyakan dari kita berpikiran demikian, berapa bangak petani dan masyarakat disekeliling kita akan terbantu.
Oleh: Ahmad Fauzan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H