Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penulis - Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iri Bilang Bos! Cara Mengubah Rasa Iri Jadi Bahan Bakar Inspirasi

1 Februari 2025   11:00 Diperbarui: 1 Februari 2025   11:00 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Suatu hari, saya sedang santai membuka Kompasiana sambil menyeruput kopi. Niatnya sih mau cari inspirasi, tapi malah kena mental. Di hadapan saya terpampang profil seorang Kompasianer yang baru mulai menulis dari November 2022, tapi sudah punya 147 tulisan, 139 jadi pilihan, dan 89 di antaranya masuk headline. Itu lebih banyak dari jumlah mie instan yang saya makan sepanjang tahun lalu!

Sebagai seorang yang juga menulis, saya mendadak merasa seperti kura-kura yang lagi lomba lari sama kelinci. Kok dia bisa seproduktif itu, sementara saya masih berkutat satu-dua-artikel yang headline dalam sebulan? Pikiran ini pun menggelayut, mulai dari rasa kagum, sedikit kagok, hingga akhirnya muncul rasa iri yang tak terbendung. Waduh, jangan-jangan saya selama ini kurang usaha?

Tapi di sinilah titik refleksi penting terjadi. Saya sadar, rasa iri bukan sesuatu yang harus dihindari, tapi sesuatu yang harus dikelola. Alih-alih membiarkannya merusak gaya tulisan saya sendiri, saya mencoba memahami bagaimana perasaan ini bisa berubah menjadi motivasi. Bukankah lebih baik kalau kita tetap bisa berkembang tanpa kehilangan jati diri?

Tulisan ini akan membahas bagaimana rasa iri bisa muncul dalam dunia kepenulisan, bahayanya kalau kita mulai meniru orang lain tanpa mempertahankan keunikan sendiri, dan bagaimana menjadikannya sebagai bahan bakar kreativitas. Jadi, kalau kamu pernah merasa ciut saat melihat penulis lain lebih produktif, jangan khawatir---kamu nggak sendirian. Kita bahas sama-sama!

Kenapa Rasa Iri Itu Muncul?

Rasa iri bukan hal yang muncul begitu saja tanpa sebab. Biasanya, ia berakar dari kebiasaan manusia untuk membandingkan diri dengan orang lain. Ketika kita melihat seseorang sukses dalam bidang yang sama dengan kita, otak otomatis berbisik, Kenapa dia bisa? Kenapa saya belum? Nah, bisikan inilah yang sering kali menjadi pemantik rasa iri.

Di era digital, perbandingan semakin tak terelakkan. Media sosial dan platform kepenulisan seperti Kompasiana memberi kita akses instan untuk melihat pencapaian orang lain. Masalahnya, kita jarang melihat perjuangan di balik kesuksesan itu---yang kita lihat hanya hasil akhirnya. Kita tidak tahu berapa banyak jam begadang yang mereka lalui, berapa banyak tulisan yang ditolak, atau seberapa sering mereka juga merasa tidak cukup baik.

Selain itu, rasa iri juga bisa muncul dari ekspektasi pribadi yang terlalu tinggi. Kita ingin sukses dalam waktu singkat, padahal setiap orang memiliki timeline masing-masing. Ada yang cepat viral, ada yang butuh bertahun-tahun membangun nama. Mengharapkan hasil instan sering kali malah membuat kita frustrasi sendiri.

Jadi, wajar kalau rasa iri muncul. Itu bagian dari perjalanan kreatif. Yang terpenting adalah bagaimana kita meresponsnya. Apakah kita akan membiarkannya menghambat kita, atau justru menjadikannya motivasi untuk berkembang?

Bahaya Meniru Gaya Orang Lain

Dalam dunia kepenulisan, menemukan gaya sendiri itu ibarat mencari warteg favorit. Kalau sudah cocok, ya bakal balik lagi dan lagi. Tapi ada kalanya, kita tergoda buat nyobain tempat lain, alias meniru gaya orang lain. Ini bisa jadi masalah besar.

Meniru gaya orang lain mungkin terasa seperti jalan pintas menuju kesuksesan, tapi kenyataannya justru bisa bikin tulisan kita kehilangan nyawa. Setiap penulis punya suara unik yang membuatnya berbeda dari yang lain. Kalau kita terus-menerus mengadaptasi gaya orang lain, lama-lama kita sendiri bingung, "Ini tulisan saya atau hasil copy-paste mental dari orang lain?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun