Mohon tunggu...
P.Aulia Rochman
P.Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penulis - Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Planet di Titik Kritis: Ketika Bumi yang Kita Tinggali Tak Lagi Aman

12 Januari 2025   05:57 Diperbarui: 12 Januari 2025   12:30 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis data mengenai frekuensi bencana alam yang meningkat akibat perubahan iklim dan upaya mitigasi yang dilakukan. Sumber: ANTARA NEWS

Pembukaan

Peter Kalmus, seorang ilmuwan iklim dan aktivis yang berdedikasi menyuarakan dampak perubahan iklim, membuat keputusan berat dua tahun lalu. Ia meninggalkan rumahnya di Altadena, Los Angeles, setelah panas ekstrem dan kekeringan terus meningkat, mengancam keselamatannya. Kini, keputusan tersebut terasa semakin masuk akal, karena lingkungan lamanya telah berubah menjadi puing-puing akibat kebakaran besar yang melanda daerah itu. Tragedi ini tidak hanya menghilangkan tempat tinggal banyak orang, tetapi juga menjadi simbol nyata dari ancaman krisis iklim yang semakin mendesak.

Los Angeles, salah satu kota terbesar di Amerika Serikat, kembali menghadapi bencana kebakaran besar pada Januari 2025. Kebakaran ini menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah wilayah tersebut, menghanguskan lebih dari 5.000 hektar lahan dalam waktu kurang dari seminggu. Ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka saat api dengan cepat menyebar, didorong oleh angin Santa Ana yang terkenal kencang. Laporan dari pihak berwenang menyebutkan bahwa lebih dari 200 bangunan telah hancur, termasuk fasilitas umum dan rumah-rumah pribadi. Selain itu, kualitas udara memburuk drastis, menciptakan risiko kesehatan bagi warga di sekitar wilayah terdampak. Upaya pemadaman yang melibatkan ribuan petugas pemadam kebakaran terkendala oleh cuaca yang semakin kering akibat perubahan iklim.

Fenomena ini bukanlah insiden terisolasi. Kebakaran hutan yang lebih sering terjadi dan lebih intens adalah akibat langsung dari perubahan iklim yang terus memperburuk kondisi lingkungan global. Dengan suhu bumi yang terus meningkat dan pola cuaca yang semakin tidak menentu, kebakaran seperti ini diperkirakan akan menjadi "normal baru" di masa depan.

Namun, pertanyaannya tetap: Apakah kita akan menunggu hingga seluruh dunia menjadi tidak layak huni sebelum mengambil tindakan nyata? Perubahan iklim bukan lagi sekadar prediksi masa depan---dampaknya kini sudah nyata, dan apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan apakah generasi mendatang masih memiliki tempat yang bisa mereka sebut rumah.

A. Fakta dan Tren Perubahan Iklim

Perubahan iklim saat ini menjadi tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia. Salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang menghasilkan emisi karbon dioksida (CO) dan gas rumah kaca lainnya. Gas-gas ini menjebak panas di atmosfer, meningkatkan suhu bumi secara global, dan memicu berbagai bencana alam yang semakin sering terjadi.

Menurut laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu rata-rata bumi telah meningkat sebesar 1,1C sejak era pra-industri. Peningkatan ini berdampak signifikan pada frekuensi dan intensitas bencana iklim, termasuk kebakaran hutan, banjir, dan badai. Kebakaran besar yang melanda Los Angeles pada Januari 2025 adalah salah satu contoh nyata dampak perubahan iklim. Angin kencang dan cuaca kering akibat pemanasan global menyebabkan api menyebar dengan cepat, menghancurkan ribuan hektar lahan dan memaksa evakuasi massal.

Tidak hanya di Amerika Serikat, Indonesia juga menghadapi tantangan serupa. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera telah menghanguskan lahan gambut yang luas, merusak keanekaragaman hayati, dan menghasilkan kabut asap yang mencemari udara hingga ke negara tetangga. Selain itu, kenaikan suhu global juga mengancam ekosistem laut, termasuk terumbu karang yang menjadi habitat bagi banyak spesies ikan.

Seperti yang dikatakan Peter Kalmus, seorang ilmuwan iklim: "Tidak ada batas atas... kita terus membakar bahan bakar fosil." Pernyataan ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa tanpa tindakan nyata, dampak perubahan iklim akan semakin parah. Tidak ada wilayah yang kebal dari ancaman ini, dan tindakan kolektif sangat diperlukan untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan yang terus meningkat.

Infografis ini menunjukkan tren kenaikan suhu global sejak era pra-industri, yang memicu berbagai dampak lingkungan (Sumber: Riset Guru)
Infografis ini menunjukkan tren kenaikan suhu global sejak era pra-industri, yang memicu berbagai dampak lingkungan (Sumber: Riset Guru)

B. Pengkhianatan Industri Bahan Bakar Fosil

Di balik krisis iklim yang semakin parah, terdapat manipulasi sistematis yang dilakukan oleh industri bahan bakar fosil. Selama puluhan tahun, perusahaan-perusahaan besar seperti ExxonMobil dan Chevron telah mengetahui dampak buruk dari emisi karbon yang dihasilkan oleh produk mereka. Namun, alih-alih mengambil tanggung jawab, mereka justru menyembunyikan informasi ini dan mendanai kampanye disinformasi yang meragukan sains iklim. Tujuannya sederhana: melindungi keuntungan perusahaan meskipun konsekuensinya adalah kehancuran planet.

Laporan investigasi menunjukkan bahwa sejak tahun 1980-an, industri bahan bakar fosil telah secara aktif mempengaruhi kebijakan publik dan menyebarkan narasi palsu bahwa transisi ke energi terbarukan akan menghancurkan ekonomi. Mereka memanfaatkan lobi politik, iklan, dan propaganda untuk mempertahankan dominasi bahan bakar fosil dalam pasar energi global. Manipulasi ini mengakibatkan keterlambatan yang signifikan dalam pengambilan langkah-langkah mitigasi perubahan iklim, yang dampaknya kini dirasakan di seluruh dunia.

Krisis ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga kemanusiaan. Penundaan tindakan nyata memperburuk dampak global, seperti kenaikan permukaan laut yang mengancam kota-kota pesisir, kekeringan ekstrem yang melanda Afrika, dan badai yang semakin dahsyat di kawasan Atlantik. Di Asia, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan. Banjir bandang di Jakarta, kebakaran hutan di Kalimantan, serta ancaman terhadap komunitas pesisir akibat abrasi adalah bukti nyata bahwa dampak perubahan iklim tidak mengenal batas geografis.

Pengkhianatan ini bukan hanya tentang kebohongan, tetapi juga tentang hilangnya kesempatan untuk mencegah kerusakan yang seharusnya bisa dihindari. Tindakan tegas untuk mengatur industri bahan bakar fosil dan mempercepat transisi ke energi bersih adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri lingkaran destruktif ini.

C. Dampak Nyata pada Kehidupan Manusia

Kisah Peter Kalmus menjadi salah satu contoh nyata dari dampak langsung perubahan iklim terhadap kehidupan individu. Sebagai seorang ilmuwan iklim dan aktivis, ia memahami risiko yang dihadapi bumi akibat krisis iklim. Dua tahun lalu, Kalmus memutuskan meninggalkan rumahnya di Altadena, Los Angeles, karena panas ekstrem dan kekeringan yang semakin parah mengancam keselamatannya. Keputusan itu terbukti benar, karena lingkungan tempat tinggalnya kini telah hancur akibat kebakaran besar yang melanda wilayah tersebut. Pengalaman ini menunjukkan bagaimana krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga memengaruhi kehidupan, tempat tinggal, dan rasa aman seseorang.

Di Indonesia, dampak perubahan iklim juga dirasakan secara nyata oleh jutaan penduduk. Salah satu contohnya adalah banjir yang semakin parah di Jakarta. Perubahan pola cuaca menyebabkan hujan ekstrem lebih sering terjadi, sementara kenaikan permukaan laut mengancam kota-kota pesisir. Setiap tahun, banjir mengganggu aktivitas jutaan penduduk, menyebabkan kerugian ekonomi yang besar, dan bahkan mengancam keselamatan jiwa.

Selain itu, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera menambah daftar panjang dampak perubahan iklim di tanah air. Kebakaran ini tidak hanya menghancurkan lahan gambut yang kaya akan keanekaragaman hayati, tetapi juga menghasilkan kabut asap yang mencemari udara hingga ke negara-negara tetangga. Warga yang tinggal di sekitar area terdampak harus menghadapi masalah kesehatan serius akibat polusi udara.

Kisah Kalmus dan realitas di Indonesia menggarisbawahi urgensi tindakan kolektif untuk mengatasi krisis ini. Dampak perubahan iklim sudah dirasakan oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, dan tanpa langkah nyata, ancaman ini hanya akan semakin memburuk.

Infografis data mengenai frekuensi bencana alam yang meningkat akibat perubahan iklim dan upaya mitigasi yang dilakukan. Sumber: ANTARA NEWS
Infografis data mengenai frekuensi bencana alam yang meningkat akibat perubahan iklim dan upaya mitigasi yang dilakukan. Sumber: ANTARA NEWS

D. Harapan dan Langkah Konkret

Meski krisis iklim tampak suram, masih ada harapan jika tindakan nyata segera diambil. Salah satu langkah utama adalah transisi ke energi terbarukan. Penggunaan energi surya, angin, dan hidro dapat menggantikan ketergantungan pada bahan bakar fosil yang merusak lingkungan. Banyak negara telah mulai mengambil langkah ini, dengan menetapkan target ambisius untuk mencapai nol emisi karbon dalam beberapa dekade mendatang. Indonesia, misalnya, memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi terbarukan, terutama di sektor energi surya dan panas bumi.

Selain itu, kebijakan lingkungan yang lebih ketat diperlukan untuk mengatur emisi karbon dan mendorong inovasi teknologi ramah lingkungan. Pemerintah dan organisasi internasional perlu berkolaborasi untuk menciptakan peraturan yang efektif dan memastikan industri bahan bakar fosil bertanggung jawab atas kontribusi mereka terhadap krisis iklim.

Namun, perubahan besar ini tidak dapat terwujud tanpa kontribusi individu. Setiap orang dapat memainkan peran dalam mengurangi dampak lingkungan. Langkah-langkah sederhana, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menghemat listrik di rumah, dan menggunakan transportasi umum, dapat membantu mengurangi jejak karbon. Selain itu, mendukung kampanye dan kebijakan pro-lingkungan melalui petisi atau advokasi juga merupakan cara efektif untuk mempercepat perubahan.

Perubahan dimulai dari langkah kecil. Apa yang kita lakukan hari ini, baik secara individu maupun kolektif, akan menentukan masa depan planet kita. Saatnya untuk bertindak, tidak hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat menikmati bumi yang layak huni.

Penutup

Perubahan iklim bukan lagi ancaman yang jauh, melainkan kenyataan yang sudah kita hadapi hari ini. Kebakaran hutan, banjir, dan suhu yang semakin ekstrem hanyalah sebagian dari gejala bumi yang kian kacau akibat aktivitas manusia. Krisis ini tidak mengenal batas geografis, berdampak pada semua orang, di mana pun mereka berada. Oleh karena itu, tindakan kolektif menjadi satu-satunya cara untuk menghadapi tantangan ini. Pemerintah, industri, dan masyarakat harus bersatu untuk mencegah kehancuran lebih lanjut.

Seperti yang dikatakan Peter Kalmus, "Ini bukan normal baru... ini adalah awal dari bumi yang lebih kacau." Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa tanpa perubahan, situasi akan semakin buruk. Masa depan generasi mendatang kini berada di tangan kita. Apakah kita akan menjadi generasi yang membiarkan kehancuran terus berlanjut, atau generasi yang mengambil langkah berani untuk menyelamatkan planet ini?

Setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak. Mulailah dengan mengurangi konsumsi energi, mendukung energi terbarukan, atau bahkan hanya dengan menyebarkan kesadaran tentang krisis ini. Saatnya bagi kita untuk merenungkan peran masing-masing dalam menjaga kelestarian planet. Bumi adalah rumah kita satu-satunya, dan masa depan bergantung pada keputusan yang kita buat hari ini. Bersama, kita masih memiliki kesempatan untuk membalikkan keadaan.

Daftar Pustaka

  1. Democracy Now. (n.d.). Climate scientist and activist Peter Kalmus lived in Altadena up until two years ago... [Instagram post]. Instagram. Retrieved January 12, 2025, from https://www.instagram.com/p/DEp45XQMnsl/

  2. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2023). Climate change 2023: Synthesis report. IPCC. Retrieved from https://www.ipcc.ch/report/ar6/syr/

  3. Kumparan News. (2025, January). Angin diprediksi terus berembus di Los Angeles, ancam kebakaran makin meluas. Retrieved January 12, 2025, from https://kumparan.com/kumparannews/angin-diprediksi-terus-berembus-di-los-angeles-ancam-kebakaran-makin-meluas-24HmOZ7Qdn6

  4. United Nations. (2022). Global warming and climate change: The facts. Retrieved from https://www.un.org/en/climatechange

  5. WWF Indonesia. (2023). Kebakaran hutan dan dampaknya terhadap ekosistem Indonesia. WWF Indonesia. Retrieved from https://www.wwf.or.id

  6. Greenpeace. (2024). The role of renewable energy in mitigating climate change. Greenpeace International. Retrieved from https://www.greenpeace.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun