Pembukaan
Peter Kalmus, seorang ilmuwan iklim dan aktivis yang berdedikasi menyuarakan dampak perubahan iklim, membuat keputusan berat dua tahun lalu. Ia meninggalkan rumahnya di Altadena, Los Angeles, setelah panas ekstrem dan kekeringan terus meningkat, mengancam keselamatannya. Kini, keputusan tersebut terasa semakin masuk akal, karena lingkungan lamanya telah berubah menjadi puing-puing akibat kebakaran besar yang melanda daerah itu. Tragedi ini tidak hanya menghilangkan tempat tinggal banyak orang, tetapi juga menjadi simbol nyata dari ancaman krisis iklim yang semakin mendesak.
Los Angeles, salah satu kota terbesar di Amerika Serikat, kembali menghadapi bencana kebakaran besar pada Januari 2025. Kebakaran ini menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah wilayah tersebut, menghanguskan lebih dari 5.000 hektar lahan dalam waktu kurang dari seminggu. Ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka saat api dengan cepat menyebar, didorong oleh angin Santa Ana yang terkenal kencang. Laporan dari pihak berwenang menyebutkan bahwa lebih dari 200 bangunan telah hancur, termasuk fasilitas umum dan rumah-rumah pribadi. Selain itu, kualitas udara memburuk drastis, menciptakan risiko kesehatan bagi warga di sekitar wilayah terdampak. Upaya pemadaman yang melibatkan ribuan petugas pemadam kebakaran terkendala oleh cuaca yang semakin kering akibat perubahan iklim.
Fenomena ini bukanlah insiden terisolasi. Kebakaran hutan yang lebih sering terjadi dan lebih intens adalah akibat langsung dari perubahan iklim yang terus memperburuk kondisi lingkungan global. Dengan suhu bumi yang terus meningkat dan pola cuaca yang semakin tidak menentu, kebakaran seperti ini diperkirakan akan menjadi "normal baru" di masa depan.
Namun, pertanyaannya tetap: Apakah kita akan menunggu hingga seluruh dunia menjadi tidak layak huni sebelum mengambil tindakan nyata? Perubahan iklim bukan lagi sekadar prediksi masa depan---dampaknya kini sudah nyata, dan apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan apakah generasi mendatang masih memiliki tempat yang bisa mereka sebut rumah.
A. Fakta dan Tren Perubahan Iklim
Perubahan iklim saat ini menjadi tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia. Salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang menghasilkan emisi karbon dioksida (CO) dan gas rumah kaca lainnya. Gas-gas ini menjebak panas di atmosfer, meningkatkan suhu bumi secara global, dan memicu berbagai bencana alam yang semakin sering terjadi.
Menurut laporan terbaru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu rata-rata bumi telah meningkat sebesar 1,1C sejak era pra-industri. Peningkatan ini berdampak signifikan pada frekuensi dan intensitas bencana iklim, termasuk kebakaran hutan, banjir, dan badai. Kebakaran besar yang melanda Los Angeles pada Januari 2025 adalah salah satu contoh nyata dampak perubahan iklim. Angin kencang dan cuaca kering akibat pemanasan global menyebabkan api menyebar dengan cepat, menghancurkan ribuan hektar lahan dan memaksa evakuasi massal.
Tidak hanya di Amerika Serikat, Indonesia juga menghadapi tantangan serupa. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera telah menghanguskan lahan gambut yang luas, merusak keanekaragaman hayati, dan menghasilkan kabut asap yang mencemari udara hingga ke negara tetangga. Selain itu, kenaikan suhu global juga mengancam ekosistem laut, termasuk terumbu karang yang menjadi habitat bagi banyak spesies ikan.
Seperti yang dikatakan Peter Kalmus, seorang ilmuwan iklim: "Tidak ada batas atas... kita terus membakar bahan bakar fosil." Pernyataan ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa tanpa tindakan nyata, dampak perubahan iklim akan semakin parah. Tidak ada wilayah yang kebal dari ancaman ini, dan tindakan kolektif sangat diperlukan untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan yang terus meningkat.