Mohon tunggu...
P.Aulia Rochman
P.Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penulis - Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Tsundoku: Seni Menikmati Buku di Tengah Tekanan Informasi Modern

5 Januari 2025   13:44 Diperbarui: 6 Januari 2025   15:56 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpus Sederhana Penulis | Dokumentasi pribadi

Pembukaan: Fenomena Membaca di Era Modern

Di era informasi yang melimpah, membaca telah berubah dari sebuah kenikmatan menjadi tantangan tersendiri. Kita sering kali merasa terbebani oleh target untuk menyelesaikan buku tertentu, mengingat detail isinya, atau bahkan membeli buku baru hanya untuk memenuhi ekspektasi intelektual. Tekanan semacam ini, meski tak disadari, menjadikan membaca lebih sebagai tugas daripada perjalanan yang menyenangkan.

Namun, apakah membaca harus selalu diukur dari jumlah buku yang diselesaikan? Apakah pengalaman membaca kehilangan nilainya jika kita lupa detail yang pernah dibaca?

Dalam budaya Jepang, ada konsep menarik bernama Tsundoku. Istilah ini mengacu pada kebiasaan mengumpulkan buku tanpa tekanan untuk membaca semuanya. Tsundoku bukanlah tanda kemalasan, melainkan optimisme intelektual---keyakinan bahwa setiap buku yang dimiliki akan menemukan waktunya sendiri untuk dibaca. Filosofi ini menawarkan sudut pandang segar di tengah dunia yang sering kali memaksa kita untuk terus produktif tanpa henti.

Bagaimana jika kita memandang membaca sebagai proses reflektif dan organik, bukan sekadar alat untuk mencapai tujuan tertentu? Melalui artikel ini, mari kita eksplorasi seni menikmati buku tanpa tekanan melalui lensa Tsundoku.

"Membaca bukan tentang seberapa banyak yang kita ingat, tetapi seberapa dalam buku-buku itu mengubah cara kita memandang dunia."

Tsundoku: Filosofi Membaca dari Jepang

Dalam bahasa Jepang, Tsundoku secara harfiah berarti "membiarkan buku menumpuk." Kata ini berasal dari gabungan dua kata: tsunde (menumpuk) dan oku (meninggalkan untuk nanti). Meski sering dianggap sebagai kebiasaan negatif oleh sebagian orang, dalam budaya Jepang, Tsundoku memiliki makna yang lebih mendalam. Filosofi ini mencerminkan hubungan yang personal dan reflektif antara seseorang dan buku-bukunya, tanpa tekanan untuk segera membaca semuanya.

Dalam konteks era digital, Tsundoku menjadi semakin relevan. Kebiasaan membeli buku secara online, menghadiri pameran buku besar-besaran, atau bahkan hanya melihat rekomendasi buku di media sosial, telah menciptakan fenomena di mana rak buku kita penuh, tetapi waktu untuk membaca terasa semakin sedikit. Namun, alih-alih melihat ini sebagai sesuatu yang buruk, Tsundoku mengajarkan bahwa buku-buku tersebut adalah investasi intelektual. Setiap buku yang kita miliki memiliki potensinya sendiri untuk dibaca di waktu yang tepat, sesuai dengan fase hidup kita.

Filosofi Tsundoku juga menjadi pengingat bahwa membaca tidak harus menjadi perlombaan. Buku yang menumpuk di rak bukanlah simbol kegagalan, melainkan kesempatan. Di tengah budaya hustle dan produktivitas berlebih, Tsundoku mengajarkan kita untuk memperlambat langkah, menikmati kehadiran buku-buku tersebut, dan memberikan ruang bagi refleksi pribadi.

Dengan memahami Tsundoku, kita dapat mengubah cara pandang terhadap membaca: dari kewajiban menjadi pengalaman yang lebih bermakna dan personal.

Membaca sebagai Kebun Pikiran

Dalam salah satu video TikTok dari akun @ekspemikiran.id, muncul metafora menarik yang menggambarkan otak kita sebagai sebuah kebun yang hidup. Tidak seperti ruang penyimpanan data yang statis, kebun ini terus berkembang, berubah, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Buku-buku yang kita baca diibaratkan sebagai benih yang ditanam di kebun ini. Tidak semua benih akan tumbuh menjadi pohon besar, tetapi setiap benih memiliki perannya masing-masing dalam memperkaya ekosistem pikiran kita.

"Setiap buku adalah benih. Tidak semua tumbuh menjadi pohon besar, tetapi semuanya memperkaya kebun pikiran kita."

Metafora ini mengubah cara pandang kita terhadap membaca. Membaca tidak lagi hanya soal menyelesaikan buku atau mengingat setiap detailnya, melainkan sebuah proses organik di mana ide-ide yang kita serap berkembang menjadi wawasan baru yang memengaruhi cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak. Sama seperti kebun yang memerlukan waktu, perhatian, dan ruang untuk bertumbuh, pikiran kita pun membutuhkan perlakuan serupa.

Sebagai contoh, pernahkah Anda membaca buku yang, meski sudah selesai bertahun-tahun lalu, tetap meninggalkan pengaruh mendalam di kemudian hari? Mungkin pada saat membacanya, pesan buku itu tidak sepenuhnya Anda pahami. Namun, ketika menghadapi situasi tertentu, ide-ide dari buku tersebut muncul kembali, memberikan perspektif baru yang relevan dengan kondisi Anda saat itu.

Dengan memahami otak sebagai kebun pikiran, kita belajar bahwa membaca adalah proses yang berkelanjutan dan tidak selalu linier. Setiap buku yang kita baca---atau bahkan sekadar kita simpan---memiliki potensinya sendiri untuk tumbuh dan memberikan makna di waktu yang tepat. Maka, daripada merasa terbebani dengan target atau tekanan membaca, mengapa tidak menikmati proses ini sebagai bagian dari perjalanan intelektual yang alami?

Relevansi Sosial dan Budaya di Era Digital

Di tengah era digital yang penuh tekanan, budaya hustle dan toxic productivity telah menjadi fenomena global. Konsep ini menekankan pada bekerja tanpa henti dan terus-menerus mengejar produktivitas, sering kali mengorbankan keseimbangan hidup. Bahkan, kebiasaan membaca, yang seharusnya menjadi aktivitas reflektif, kini tidak luput dari tekanan tersebut. Banyak orang merasa bersalah ketika tidak menyelesaikan buku, tidak mengingat detailnya, atau bahkan membeli buku baru sebelum menyelesaikan yang lama.

Tsundoku, dengan pendekatan santainya, menjadi antitesis yang menenangkan terhadap tekanan ini. Filosofi ini mengajarkan bahwa membaca tidak harus menjadi perlombaan, melainkan proses alami yang sesuai dengan kebutuhan dan waktu kita. Buku-buku yang menumpuk di rak bukanlah simbol kegagalan, tetapi peluang intelektual yang menanti saatnya untuk tumbuh. Dalam budaya hustle, Tsundoku mengingatkan kita bahwa mengambil waktu untuk berpikir, merenung, dan menikmati adalah bentuk produktivitas yang tak kalah penting.

Menurut sebuah survei oleh Pew Research Center, sekitar 72% orang dewasa di Amerika membaca setidaknya satu buku dalam setahun, namun banyak yang melaporkan bahwa tekanan waktu menjadi penghalang utama untuk membaca lebih banyak. Sementara itu, di Indonesia, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat literasi masih rendah meski minat membaca perlahan meningkat, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini mencerminkan betapa pentingnya mendorong kebiasaan membaca yang lebih organik dan bebas tekanan.

Dalam konteks era digital, di mana konsumsi informasi sering kali cepat dan dangkal, Tsundoku menawarkan pelajaran penting: tidak semua informasi harus segera dipahami atau digunakan. Buku-buku yang Anda miliki adalah investasi jangka panjang, bukan beban. Dengan memahami hal ini, kita dapat mengubah cara pandang terhadap membaca---dari tugas menjadi pengalaman yang menyenangkan dan bermakna.

Kisah Personal: Pengalaman dengan Buku dan Momen yang Tepat

Di antara buku-buku di rak saya, Filosofi Teras karya Henry Manampiring dan Let's Change! karya Rhenald Kasali punya cerita menarik. Saat membeli Filosofi Teras, saya yakin buku ini akan segera saya baca habis. Namun kenyataannya, ia hanya menjadi penghuni rak selama beberapa bulan, menunggu waktu yang tepat. Hingga suatu malam, ketika saya sedang mencari cara untuk menghadapi tekanan pekerjaan, saya membuka buku ini dan menemukan konsep dichotomy of control. Pelajaran tentang mengenali apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang tidak menjadi pencerahan besar bagi saya saat itu. Buku ini tidak hanya membantu saya meredakan kegelisahan, tetapi juga memberikan alat untuk menavigasi kehidupan dengan lebih tenang.

Sementara itu, Let's Change! membawa saya pada pemahaman tentang dinamika hukum dan kebijakan publik yang selama ini jarang saya renungkan. Buku ini membuka mata saya terhadap pentingnya kontribusi pribadi dalam mendorong perubahan, sekecil apa pun itu. Membacanya memberi inspirasi bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil bisa menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar.

"Buku memiliki momen magisnya sendiri. Mereka hadir ketika kita benar-benar siap untuk memahami pesan yang dibawanya."

Dua pengalaman ini mengingatkan saya pada filosofi Tsundoku. Buku-buku di rak bukanlah beban, tetapi teman yang sabar menunggu hingga kita siap menerima pelajaran yang mereka tawarkan. Mereka hadir di waktu yang tepat, memberikan wawasan yang relevan untuk mendukung perjalanan hidup kita.

Perpus Sederhana Penulis | Dokumentasi pribadi
Perpus Sederhana Penulis | Dokumentasi pribadi
Pengalaman ini membuat saya memandang buku dengan cara yang berbeda. Buku bukanlah sekadar bacaan, tetapi investasi emosional dan intelektual. Seperti teman baik, buku hadir pada waktu yang tepat untuk memberikan wawasan dan kenyamanan yang kita perlukan.

Penutup: Merayakan Buku sebagai Potensi, Bukan Beban

Membaca adalah salah satu bentuk perjalanan yang paling personal dan mendalam. Dalam artikel ini, kita telah mengeksplorasi bagaimana konsep Tsundoku memberikan sudut pandang baru terhadap kebiasaan membaca. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa setiap buku yang dimiliki adalah potensi---sebuah benih yang menunggu waktu untuk tumbuh, memperkaya pikiran, dan menghadirkan makna di momen yang tepat.

Daripada memandang buku-buku yang belum dibaca sebagai beban, kita dapat melihatnya sebagai teman yang sabar, siap menemani perjalanan hidup kita. Membaca bukanlah tentang menyelesaikan sebanyak mungkin buku atau mengingat setiap detailnya, melainkan tentang menikmati proses, merenung, dan membiarkan setiap ide berkembang dalam waktunya.

Di tengah budaya hustle yang sering menekan kita untuk selalu produktif, Tsundoku mengajarkan kita untuk memperlambat langkah dan menemukan kembali esensi membaca sebagai pengalaman yang menyenangkan dan bermakna.

Jadi, mari berhenti merasa bersalah atas buku-buku yang masih menunggu di rak. Sebaliknya, rayakan kehadiran mereka sebagai sumber inspirasi dan peluang untuk bertumbuh. Karena pada akhirnya, membaca adalah tentang perjalanan kita sebagai manusia---bukan tentang berapa banyak yang kita baca, tetapi tentang bagaimana setiap buku mengubah cara kita melihat dunia.

"Setiap buku memiliki waktunya sendiri. Yang perlu Anda lakukan adalah menunggu, dan pada saat yang tepat, ia akan memberi Anda pesan yang Anda butuhkan."

Daftar Pustaka

  1. Manampiring, H. (2018). Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi untuk Mental Tangguh Masa Kini. Jakarta: Kompas Gramedia.

  2. Kasali, R. (2007). Let's Change!: Pemikiran Kritis tentang Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas Gramedia.

  3. TikTok @ekspemikiran.id. (2025). Metafora Otak sebagai Kebun Pikiran. https://www.tiktok.com

  4. Pew Research Center. (2021). Who doesn't read books in America? Diakses dari https://www.pewresearch.org

  5. Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Pendidikan Indonesia: Tingkat Literasi dan Minat Baca. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun