Pembukaan: Apa yang Hilang dalam Keuangan Anda?
Rina selalu menjadi pusat perhatian di lingkungannya. Dengan rumah mewah di pinggiran kota, mobil yang berkilauan di garasi, dan tabungan besar yang cukup untuk pensiun dini, hidupnya tampak seperti impian banyak orang. Tetapi suatu malam, setelah kembali dari pesta ulang tahun seorang teman, ia duduk sendirian di ruang tamu dan merasakan kehampaan yang tidak dapat dijelaskan. Dalam keheningan itu, pertanyaan menghantamnya seperti petir: "Untuk apa semua ini?"
Pertanyaan Rina bukanlah kasus yang jarang terjadi. Di tengah kesibukan mengejar apa yang disebut "kebahagiaan finansial," banyak dari kita tanpa sadar terperangkap dalam siklus budaya konsumtif. Kita membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan, mengikuti tren yang memaksakan standar hidup tertentu, dan tanpa sadar mengorbankan waktu serta energi demi sesuatu yang tidak memberikan kepuasan sejati. FOMO (fear of missing out) menekan kita untuk selalu tampil sempurna di media sosial, seolah-olah pencapaian material adalah satu-satunya indikator keberhasilan.
Namun, apakah stabilitas finansial semata cukup untuk membawa kebahagiaan? Studi menunjukkan bahwa setelah kebutuhan dasar terpenuhi, uang tambahan tidak selalu membuat kita lebih puas. Lalu, mengapa masih ada rasa hampa meski angka di rekening kita terus bertambah?
Jawabannya mungkin terletak pada satu hal: keuangan tanpa makna adalah perjalanan tanpa arah. Ketika tujuan finansial kita tidak terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, seperti misi hidup atau nilai-nilai yang kita pegang erat, stabilitas finansial hanya akan menjadi angka kosong tanpa jiwa.
Apa Itu Misi Jiwa? Dan Mengapa Penting untuk Finansial?
Misi jiwa adalah kombinasi unik dari bakat alami, panggilan hidup, dan dampak yang ingin Anda tinggalkan di dunia ini. Ini bukan sekadar tentang pekerjaan atau karier, melainkan tentang menjalani kehidupan yang selaras dengan nilai-nilai terdalam Anda. Ketika seseorang menemukan misi jiwanya, hidup tidak lagi hanya tentang "apa yang harus dilakukan," tetapi tentang "mengapa Anda melakukannya."
Di tengah tren terkini seperti quiet quitting---di mana orang memilih untuk melakukan pekerjaan seminimal mungkin tanpa antusiasme---dan meningkatnya angka resign demi mengejar passion, misi jiwa menjadi semakin relevan. Data dari Gallup menunjukkan bahwa 85% pekerja di seluruh dunia tidak merasa terikat secara emosional dengan pekerjaan mereka, meskipun penghasilan mereka memadai. Angka ini menunjukkan betapa banyak orang yang merasa terjebak dalam rutinitas tanpa makna.
Contohnya, Maria, seorang wanita yang menghabiskan satu dekade bekerja di perusahaan besar, selalu merasa ada yang kurang. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, ia mulai merefleksikan apa yang benar-benar penting dalam hidupnya. Maria akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan memulai bisnis sosial yang menyediakan pendidikan untuk anak-anak yatim piatu. Meskipun penghasilannya menurun, Maria merasa lebih hidup dan bermakna.