Masyarakat Madani (dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Salah satu ciri masyarakat madani yakni ialah keadilan sosial.
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan dan kesempatan.
Dengan pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongsn tertentu. Namun keadilan sosial Indonesia sedang marak diguncangkan akibat kasus E-KTP yang menyangkut pihak-pihak besar yang mengotori pilar penegak masyarakat madani. Misalnya saja kasus orang yang akhir-akhir ini disebut Papa atau Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Beliau adalah salah satu tersangka dari sekian banyak pihak yang terlibat kasus korupsi E-KTP. Kebobolan Supremasi Hukum yang seharunya menjadi pilar penegak masyarakat madani sempat dipersoalkan.Â
Supremasi Hukum ialah setiap warga negara , baik yang duduk dipemerintahan atau sebagai rakyat harus tunduk kepada aturan atau hukum.Sehingga dapat mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dan antar warga negara dengan pemerintah melalui cara damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Supremasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia.
Namun mangkirnya pemanggilan Setya Novanto dari KPK menunjukkan bahwa beliau belum tunduk dari Supremasi Hukum. Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka pada kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Juli 2017. Â Ia diduga ikut mengatur agar anggaran proyek E-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui anggota DPR. Selain itu, Novanto diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyek E-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Pada Jumat (29/9/2017) kemarin, status tersangka itu sempat dibatalkan hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar. Hal ini terdapat kejanggalan dari proses pengadilan tersebut, sebab hakim Cepi sempat menolak mendengarkan bukti kuat dari KPK.Â
Saat dipanggil KPK untuk panggilan sebagai tersangka, Setya Novanto seringkali menggunakkan alasan sakit untuk menghindari pemeriksaan KPK. Hal ini seringkali membuat geram warganet karena Setya Novanto dianggap "melarikan diri" dari perbuatannya yang merugikan negara hingga 2,3 triliun. Bahkan kecelakaan menabrak tiang listrik tempo hari digadang-gadang oleh warganet merupakan drama yang dibuat "Papa" untuk menghindari KPK. KPK sebagai salah satu lembaga supremasi hukum untunglah masih bersikap tegas. Karena berkali-kali melalaikan panggilan, Setya Novanto akhirnya "ditahan" di rumah sakit.Â
Maka dari itu sebagai bagian dari civil society yang terdapat keadilan sosial didalamnya, kita sebagai warganet hendaknya demokratis, jangan takut untuk menganspirasikan pendapat. Lewat pers dan media sosial ini kita menjadi sarana pilar penegak hukum bagi pemimpin yang sewenang-wenang dan menyalahkunakan kekuasaan untuk mengambil keuntungan pribadi serta demi terwujudnya fungsi supremasi hukum yang sudah selayaknya untuk menjaga keadilan sosial yang ada dalam masyarakat.
Referensi:Â
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_madani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H