Pernah ikut bergabung dengan antrian panjang di sebuah rumah makan? Atau pernah menggunakan aplikasi belanja online karena rekomendasi teman yang mengatakan bahwa akan mendapat diskon untuk pertama kali berbelanja? Tanpa kita sadari, bahwa hal tersebut merupakan salah satu trik psikologi.
Dalam era digital seperti sekarang ini, psikologi marketing merupakan hal yang wajib dikuasai oleh pemilik bisnis. Menurut Choiri (2019), psikologi marketing adalah upaya pendekatan motif penjualan yang mempengaruhi psikologis (emosional dan perasaan) terhadap suatu produk yang ditawarkan oleh pelaku bisnis agar calon pembeli lebih ingin segera memiliki produk tersebut, hal ini dilakukan dengan harapan konsumen yang melakukan pembelian akan meningkat. Salah satu teknik dalam psikologi marketing ini adalah social proof.
Pengertian Social Proof
Menurut Nielsen (2014), social proof mengacu pada kecenderungan kita untuk mengikuti perilaku orang lain, terutama orang yang kita kenal. Seorang profesor ilmu psikologi dan pemasaran bernama Cialdini (1984) menyatakan bahwa orang cenderung meminta saran dari orang lain karena mereka tidak yakin dengan apa yang harus mereka lakukan. Kita cenderung akan percaya pada sebuah produk yang dipakai oleh orang lain yang dianggap signifikan atau orang lain yang pendapatnya bisa dipercaya.
Ketika produk tertentu menjadi viral dan digunakan oleh banyak orang di media sosial, kita cenderung ingin mencobanya juga. Ahli psikologi sekaligus filsuf yang bernama William James (1899) mempublikasikan teori psikologi pendidikan tentang curiosity atau rasa ingin tahu sebagai suatu dorongan ke arah daya pikir yang lebih baik. Hal ini karena manusia pada dasarnya memiliki hasrat untuk memahami hal-hal yang tidak diketahuinya (Cattell, 1948).Â
Menurut Loewenstein (1994), ketika seseorang merasa ada perbedaan antara informasi yang mereka peroleh dan yang mereka inginkan, mereka akan menjadi penasaran.Â
Jadi saat suatu produk viral di media sosial, kita cenderung ingin tahu dan ingin mencoba langsung produk tersebut. Mungkin kita juga akan dengan senang hati merekomendasikan produk tersebut kepada orang lain. Pada akhirnya hal ini akan mendorong pelanggan lain untuk membeli produk tersebut atau bahkan membuatnya menjadi pelanggan tetap.
Pengertian User Experience
Menurut Susilo (2019), user experience (UX) adalah pengalaman yang diberikan website atau software kepada penggunanya agar interaksi yang dilakukan menarik, menyenangkan, dan mudah dipahami oleh pengguna. User adalah pengguna, sedangkan experience adalah pengalaman.Â
Sederhananya user experience adalah pengalaman yang pengguna rasakan saat menggunakan suatu produk atau layanan. Pengalaman tersebut berkaitan dengan perasaan yang dialami pengguna saat berinteraksi dengan aplikasi tersebut yang mereka gunakan.
Terdapat 2 alasan mengapa social proof digunakan dalam user experience (Nielsen, 2014) :
Memberikan Kredibilitas
Orang cenderung lebih percaya bahwa hal yang mereka pilih akan berguna bagi mereka jika mereka melihat orang lain memilih hal yang sama.
Membuat Orang Tertarik
Banyaknya orang menggunakan aplikasi tik-tok untuk menjangkau banyak berita viral akan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Melihat sebagian besar orang melakukan sesuatu adalah indikator psikologis bagi orang-orang bahwa mereka harus melakukan hal yang sama.
Contoh Social Proof
Ada beberapa contoh social proof dalam user experience yang sering kita lihat (Nielsen, 2014), yaitu :
1. Rating dan Komentar
Sebelum memutuskan menginstal aplikasi dari Appstore/Google Play biasanya yang kita lakukan pertama kali adalah melihat rating dan komentar dari pengguna yang lain.Â
Dengan cara yang sama, saat kita akan membeli barang di e-commerce, kita cenderung mempertimbangkan apakah pelanggan lain merasa puas atau tidak setelah membelinya, karena kita akan berfikir bahwa kita akan merasakan hal yang sama seperti yang dialami pelanggan sebelumnya.Â
Keikutsertaan dalam belanja online melalui media sosial, seperti rating dan komentar dari pelanggan sebelumnya adalah beberapa faktor yang dapat menumbuhkan kepercayaan dari konsumen.
2. Jumlah Pengikut
Di era modern, hampir semua bisnis memiliki akun media sosial, salah satunya bisnis kuliner. Jika kita ingin mencoba rumah makan yang baru saja dibuka, kita dapat melihat profilnya di media sosial dan cenderung yangkita lihat pertama kali adalah jumlah pengikutnya dan siapa saja teman kita yang juga mengikuti.Â
Jika ada banyak pengikut dan beberapa teman kita sudah mengikuti dan mencobanya, kita akan merasa yakin untuk pergi ke rumah makan tersebut.Â
Hasil eksperimen dari penelitian "Social Proof in Social Media Shopping: AN experimental design research" menemukan bahwa teknik social proof , khusunya jumlah pengikut yang tinggi dan rekomendasi komunitas sosial (E-Wom), sangat mempengaruhi keinginan konsumen untuk membeli barang dari penjual sosial media. Penjual dengan jumlah pengikut yang tinggi menunjukkan bahwa mereka benar-benar sah dan terpercaya (Talib & Saat, 2017).
3. Filter Sosial
Sebuah e-commerce yang menampilkan produk yang paling sering dibeli oleh pelangan lain akan membuat kita berfikir bahwa kita harus memilih produk tersebut untuk mendapatkan kepuasan yang sama seperti mereka.Â
Pelanggan dapat menjadi sangat yakin untuk membeli barang terlaris meskipun harganya lebih mahal daripada membeli barang serupa dengan harga yang lebih murah tetapi tidak masuk ke filter sosial.Â
Keyakinan adalah sudut pandang seseorang terhadap sesuatu yang digambarkan melalui pemikiran deskriptif. Perasaan positif akan mendorong pelanggan yang memiliki keyakinan terhada produk tertentu untuk memutuskan membeli produk tersebut (Kotler & Armstrong, 2008).